Sabtu, 14 Februari 2009

HOMANS DAN ANALOGI PERILAKU KONSUMEN “TANAMAN HIAS”

HOMANS DAN ANALOGI PERILAKU KONSUMEN “TANAMAN HIAS”
By : Meidawati Suswandari

Jemani, anthurium dan gelombang cinta adalah merupakan komoditas instant. Seperti halnya saat bomingnya Ikan Arwana dan lohan yang pernah ngetrend, maka secara alamiah komoditas instant adalah semakin diburu semakin mahal, karena membuat orang semakin penasaran. Namun bila rasa penasaran telah terpenuhi, maka harga komoditas tersebut akan jatuh, kecuali bila komoditas tersebut memiliki value atau manfaat yang tinggi bagi penggunanya. Dan tidak ubahnya dengan cerita dongeng. Harganya bisa semahal satu mobil Mercedes seri S. Kalau dibelikan rumah, bisa dapat lima-enam buah dengan luas tanah 180-an meter di pinggiran Jakarta. Bagaimana bisa menjelaskan satu tanaman hias daun anturium yang harganya Rp 600 juta bahkan Rp 1,2 miliar per buah? Harga ratusan juta rupiah juga pernah diraih adenium.
Dalam trend tanaman hias pun seakan terus mengelinding menyertai setiap kemunculan trend baru tanaman hias. Menggilanya harga tanaman hias yang selagi dalam trend membuat banyak pihak terheran-heran. Lihatlah harga anthurium sampai menyentuh jutaan. Para penghobi, penjual tanaman hias dan bahkan pengamat tak lagi berbisik-bisik, tetapi telah terang-terangan bicara dugaan permainan trend pada tanaman hias. Untuk membentuk bisnis menjadi trend semacam ini adalah dengan cara membuat suasana dengan pola permintaan secara semu, yaitu permintaan yang tidak sesungguhnya. Permintaan semu ini direkayasa oleh kekuatan dari orang-orang tertentu secara otomatis cenderung untuk mendukungnya. Akibat dari permintaan semu ini terhadap komoditas tersebut menjadi melambung tinggi, tidak terkendali bahkan terkesan irasional. Dalam pengertian perilaku pada konsumen menjadi sesuatu yang mencolok.
Selain itu peran media juga sangat esensial dalam komunikasikan eksistensi tanaman hias, baik berupa media elektronik maupun media cetak keduanya ikut andil dalam membentuk opini masyarakat, menyampaikan informasi harga, perkembangan dan trend tanaman dan yang lainnya. Fenomena ini menunjukan bahwa demam anthurium membawa dampak yang positif terhadap perkembangan media masa sedangkan media massa membentuk opini yang mampu mengangkat perbisnisan berupa anthurium. Jadi ada hubungan mutualisme yang saling menguntungkan. Hal ini dibenarkan oleh teori konsep sikap dari Dra. Ristiyanti prasetijo, MBA dan Prof. John J.O.I Ihalauw bahwa :“Pengaruh media massa tidak boleh dianggap remeh. Perusahaan menggunakan berbagai macam media massa secara efektif untuk mempengaruhi sikap audiens yang merupakan konsumen atau calon konsumen perusahaan itu. Sikap dapat terbentuk dari jenis media massa yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi tentang produk”
Sehingga menyampaikan pesan informasi, membentuk opini melalui media masa maupun even-even yang mereka bentuk seperti mengadakan pameran, exspo, kontes pemilihan jemani sampai pemilihan Duta Putri Jemani yang menjaring wanita-wanita cantik pun dilakukan dan itu sah-sah saja serta bisa dilakukan untuk mengangkat nilai dari suatu komoditas yang dikehendaki.
BENDA DALAM PEMAKNAAN
Masyarakat saat ini sedang digandrungi dengan berbagai spesies yang ditawarkan oleh publik dari tanaman hias. Mendadak orang bisa beli mobil ataupun rumah berkat Jemani. Kini juga semakin banyak kios tanaman hias di pusat-pusat perbelanjaan kota. Kita pun kerap melihat ibu-ibu atau bapak-bapak memarkir sedan di tepi jalan untuk mendatangi lapak dagangan tanaman hias. Maka, pameran dan pengembangan untuk menanggapi pasar tanaman hias semakin membesar.
Menggilanya harga tanaman hias yang selagi dalam trend membuat banyak pihak terheran-heran. Lihatlah harga anthurium sampai menyentuh jutaan.
Hal ini tidak terlepas dengan adanya tangan-tangan yang memainkan dalam trend tanaman hias. Para penghobi, penjual tanaman hias dan bahkan pengamat tidak k lagi berbisik-bisik, tetapi telah terang-terangan menikmati isu tersebut.
Tanaman diibaratkan sebuah benda. Lantas apa makna benda-benda bagi manusia? Baik dari sudut pandang masyarakat tradisional maupun masyarakat modern pertanyaan ini bisa dijawab dengan dua hal, yang merupakan pokok kajian budaya materi (budaya pemanfaatan benda-benda oleh manusia, bagaimana manusia berhubungan dengan benda). Oleh Mary Douglas (antropolog) dan Baron Isherwood (ekonom) (1979) menanggapi dalam persepsinya :“Fenomena peradagangan/ekonomi juga masih termasuk dalam perspektif ini. Pertama, benda-benda bisa diletakkan dalam perspektif fungsional saja. Yang kedua, benda-benda bisa juga diletakkan dalam perspektifnya sebagai totem, yaitu diasosiakan secara simbolik dengan sesuatu yang lain. Di sini benda-benda berperan sebagai pembawa maknamakna sosial tertentu. Cincin misalnya, yang tak terlalu penting dalam perspektif fungsional, dalam perspektif totem bisa bermakna kecantikan, kekayaan, atau ikatan kesetiaan”
Benda bisa beralih fungsinya terhadap dampak materi. Seperti halnya tanaman hias, seolah-olah benda tersebut berdampak adanya reward tertentu yang mampu dihasilkan dari ketertarikan dengan kepemilikan tanaman hias. Kemudian berkembanglah unsure komoditas yang menggambarkan penyembunyian cerita tentang siapa dan bagaimana sebuah objek dibuat. Dalam pandangan Marx, hal tersebut merupakan objektifikasi kesadaran sosial. Ini berawal dari distingsi Marx antara produksi yang bermanfaat langsung bagi pembuatnya dengan produksi yang semata-mata untuk kepentingan pasar.
HOMANS DAN PERTUKARAN PERILAKU
Teori pertukaran social dilandaskan pada prinsip transaksi ekonomis yang elementer, orang menyediakan barang atau jasa dan sebagai imbalannya berharap memperoleh barang atau jasa yang diinginkan. Akan tetapi, pertukaran social tidak selalu dapat diukur dari hal nyata dan tidak nyata. Teori pertukaran Homans ini bertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Pertukaran perilaku untuk memperoleh ganjaran adalah prinsip dasar dalam transaksi ekonomi sederhana. Homans percaya bahwa proses pertukaran dapat dijelaskan dalam lima pernyataan proporsional berasal dari psikologi BF. Skiner. Diantaranya proporsi sukses, proporsi stimulus, proporsi nilai, proporsi deprivasi satiasi dan proporsi restu agresi. Namun saya ingin menghadirkan dalam tiga proporsi.
Pertama, proposi sukses, yang menyatakan :“Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka kian kerap ia akan melakukan tindakan itu” Jika ditelaah, maka bagaimana peran sebuah media yang berhasil membuat konsumen tersihir secara magic untuk mengikuti segala hal yang dipromosikan, diberitakan dan dieksploitasi sedemikian rupa. Dengan keberhasilan media dapat menggaet perilaku dan pola konsumtif secara massa, maka semakin gencar pula peran media tersebut memboomingkan konsepsi suatu benda. Tanaman hias yang tercipta dari sebuah benda yang tadinya hanya biasa-biasa saja seperti untuk pajangan atau hiasan halaman rumah, dikonstuksikan sebagai sebuah merek dan produk yang bervalue tinggi.
Proporsi yang kedua adalah stimulus. “Jika dimasa lalu terjadinya stimulus yang khusus, atau seperangkat stimuli merupan peristiwa di mana tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu, akan semakin mungkin seseorang melakukan tindakan serupa atau yang agak sama”. Pengertian dasar stimulus diatas menyeragamkan definisi bagaimana proporsi sukses mengelabuhi konsumennya. Namun dalam proporsi stimulus ini, cenderung lebih spesifik aturan mainnya. Peran media massa yang menampilkan gambaran secara umum keberhasilan dan kesuksesan seseorang yang mengembangkan usaha serta perkembangbiakan tanaman hias dari beberapa jenis atau spesies tanaman hias yang laku terjual, sehingga seolah-olah membuat kotak kebudayaan tertentu yang menyudutkan beberapa jenis tanaman hias yang responsive terhadap nilai jual yang menggiurkan. Hal ini bisa dilihat pada jenis anthurium, jemani dan gelombang cinta. Sedangkan tanaman hias lainnya yang masih dalam taraf belum dan mungkin sebentar lagi akan dinaik-daunkan oleh media massa, bisa saja orang akan semakin gila dan gila dengan sepucuk daun yang senantiasa diagung-agungkan.
Ketiga, proporsi nilai, berisi tentang :“Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian senang seseorang melakukan tindakan itu”. Perilaku konsumen tidak lagi mengkonsumsi sesuatu untuk pemenuhan kehidupan secara primer dan sedikitnya kebutuhan sekunder, namun yang terjadi sekarang ini sudah berubah. Sehingga interprestasinya merujuk kepada prestise. Memang, anthurium bukanlah barang sembako yang menjadi kebutuhan primer setiap orang. Namun, akar sejarah dan budaya masyarakat Indonesia membuktikan, prestise bagi masyarakat Nusantara menjadi sebuah kebutuhan penting. Kebutuhan pada prestise itu dimiliki setiap lapisan masyarakat. Artinya, setiap orang rela membelanjakan uangnya demi sebuah prestise sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Created By :
Meida_suswandari Sos_ant

Tidak ada komentar: