Jumat, 13 Februari 2009

ADA APA DENGAN ANTROPOLOGI SOSIAL ???

Pemikiran Max Weber yang mempengaruhi Clifford Geertz tentang Antropologi Interpretif =
Weber yang berkutik dalam ilmu sosial yang menggunakan pendekatan verstehende (pemahaman), yang berusaha melihat ilmu sosial untuk memahami tindakan-tindakan sosial dan menguraikannya dengan menerangkan sebab-sebab tindakan tersebut. Yang menjadi kajian pokok dalam ilmu ini menurutnya bukanlah nilai objektif dari tindakan, melainkan hanya didasarkan arti yang nyata dari tindakan perorangan yang ditimbulkan dari alasan-alasan (sebab-sebab) secara subjektif.
Verstehende merupakan motode pendekatan yang berusaha untuk mengerti makna yang mendasari peristiwa sosial dan historis. Mempelajari tindakan sosial adalah dengan melakukan penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding). Sehingga, misalnya sebagai seorang peneliti bertugas menginterpretasikan tindakan seseorang dengan berdasar untuk memahami motif tindakan seseorang tadi.
Dalam hal ini, dengan mengambil dari perspektif Weber bahwasanya mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Hal inilah yang menjadikan Clifford Geertz kemudian menobatkan dirinya dalam pengertian kebudayaan seperti halnya Weber, dimana kebudayaan sebagai pola makna yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Maka, analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Pengaruh Weber terhadap Geertz, juga didapatkannya melalui The Structure of Social Action (1934) tulisan Parson tentang jalan pemecahan masalah-masalah kebudayaan.
Menurut Geertz, jika memahami aktivitas kebudayaan manusia yang hidup dalam sistem makna yang kompleks adalah dengan pendekatan menjelaskan perilaku mereka. Hal inilah yang membawa Geertz dalam pendekatan Thick Description (deskripsi/ pelukisan mendalam). Seperti halnya kajian etnografi dan juga antropologi secara umum, harus selalu melibatkan pelukisan mendalam yang merupakan kebalikan dari pelukisan dangkal (Thin Description). Tugas etnografer atau antropolog tersebut, bukan hanya sebatas mendeskripsikan struktur suku-suku atau rtual-ritual masyarakat yang ditelitinya saja, tetapi juga mencari makna, menemukan apa yang sesungguhnya berada di balik perbuatan mereka, atau makna yang ada di balik seluruh kehidupan dan pemikiran ritual, struktur, dan kepercayaan mereka.
Lebih lanjut mengenai makna, Geertz berpendapat bahwa makna dalam kebudayaan bersifat publik, dan tergantung kepada konteks masyarakat pendukungnya, Secara sosial kebudayaan terdiri dari struktur-struktur makna berupa sekumpulan tanda suatu tindakan yang hidup di dalamnya.

Konsep habitus dari Bourdie yang berawal dari Weber ini mengandung pengertian tipe ideal, maksudnya adalah adanya penyeimbangan dalam tekanan seorang individu yang dibentuk atau dikontruksikan dalam suatu masyarakat. Weber memberikan contoh, tipe ideal dalam sebuah birokrasi yang terdapat adanya hierarki dalam otoritas, hubungan personal, dan adanya pembagian kerja (spesialisasi).
Habitus disini memiliki pengertian adanya pembawaan diri yang telah menjadi perilaku yang mendarah daging, semacam pembadanan dari kebiasaan kita dalam rasa-merasa, memandang, mendekati, bertindak, atau berinteraksi dalam kondisi suatu masyarakat dan bisa juga diistilahkan adanya suatu ciri khas tertentu.. Akan tetapi dalam habitus ini, memiliki sifat yang netral, bukan berupa penilaian tentang baik atau buruk, hanya sekedar untuk menganalisis atau menginterprestasi (memahami).
Memahami habitus yang merunut dari weber adalah memahami tindakan yang khas dari setiap individu yang hidup dalam suatu masyarakat. Yang khas inilah yang terdefinisi dalam tipe ideal. Tipe ideal dengan ciri yang khas dikontrusikan (dibentuk dan dibangun) dengan berdasarkan tingkat generalisasi (pemkanaan yang berbeda) tergantung dari hubungan, interaksi sosial dan kelompok sosialnya. Tipe ideal cenderung mengabaikan adanya ciri-ciri dari gejala sosial yang sifatnya unik, tapi lebih mengedepankan (memusatkan) ciri-ciri yang khas. Sehingga mempelajari satuan sosial dalam masyarakat yang besar dengan didasarkan pada tindakan yang khas, dengan individu yang khas dan situasi yang khas pula.
Tipe ideal ini bisa diibaratkan sebagai lawan kata dari tipe realita. Karena sesuatu yang dibahasakan dalam bentuk ideal, seperti halnya orang sedang melakukan pikiran untutk berkhayal dan bermimpi sesuai dengan apa yang diinginkannya. Ideal menjadi suatu keterbalikaan dari kenyataan yang telah ada (yang terjadi/kenyataan/realita). Habitus yang merupakan sebuah kebiasaan yang dibawa setiap individu dengan harapan adanya tipe ideal dengan harapan baru untuk terciptanya keteraturan dalam masyarakat.
Saya mengambil contoh yang setiap hari di depan mata, yaitu pada lampu lalu lintas. Salah satu gejala dari habitus berlalu lintas tampak pada momen di perempatan. Lampu lalu lintas sudah berubah merah, tetapi banyak mobil/motor tetap melaju. Lampu lalu lintas yang secara ideal untuk menenrtibkan pengguna jalan khususnya kendaraan bermotor, akan tetapi dengan keberadaan habitus setiap individu, tipe ideal yang diharapkan tidak semulus yang menjadi sebuah harapan.

Kajian (konsep) antropologi mengarah kepada =
Menurut saya, kajian antropologi lebih berkutik pada rasionalitas karena pada dasarnya setiap individu yang berbeda dalam perilakunya meski secara ilmiah sangat sulit dibuktikan dalam penggambarannya, namun Weber, dengan konsep rasionalisasi sebagai penemu untuk mengartikan makna yang sifatnya subyektif dari setiap perilaku manusia tersebut dengan adanya perbandingan tindakan sosial yang berbeda-beda. Tindakan rasional ini sebagai pertimbangan yang sadar dan berupa pilihan bahwa tindakan tersebut dinyatakan. Ciri sentral dari tesis Weber adalah rasionalisme yang terdiri dari rutinisasi
Dengan adanya perkembangan masyarakat yang semakin modern, tindakan social dalam rasionalitas bisa kita lihat dalam peranannya di intitusi social. Sebuah intitusi yang merupakan birokrasi secara modern sebagai salah satu bentuk organisasi social yang paling rasional. Meski terkadang dalam hal ini, muncul adanya non rasional seperti misalnya interaksi dengan setiap personal dalam sebuah birokrasi tersebut. Oleh sebab itu, yang menjadi rasionalitas disini adalah bahwa individu yang dalam organisasi (birokrasi) secara tidak sadar dihubungan dengan kegiatan yang saling tergantung dan terkoordinasi serta teratur secara rasional. Dan dalam rasionalitas ini, setiap perilaku individu memiliki nilai dan tujuan yang diperhitungkan secara rasional pula.
Sebagai contoh, seseorang yang sedang jatuh cinta. Dalam mengungkapkan perasaannya yang secara eksplisit tidak dapat tertera dengan jelas bagaimana sebenarnya perasaan tersebut (fall in love). Perasaan tersbut diwujudkan dengan sebuah pemberian yang berbentuk secar fisik dan kasat mata terlihat dengan adanya hadiah untuk orang yang kita cintai. Dari tindakan tersebut bersifat rasional yang berorientasi nilai karena nilai yang sifatnya absolute dengan dinilai dalam suatu tujuan pemberian secara fisik.
Sedangkan karisma, merupakan tambahan dari penjelasan Weber yang diarahkan dari tindakan sosial yang sifatnya rasional dan non rasional, secara struktural dalam organisasai sosial dan perubahan sosial memilki pengertian otoritas dalam hal otoritas yang terkait dengan tradisional ataupun otoritas karismatik.

Pengaruh weber dalam antropologi agama =
Bagi antropologi melihat agama di masyarakat, adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Hal ini berkaitan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya yang dipraktikkan. agama akan mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan.
Weber, pandangan agama sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia. Weber menekankan pentingnya ide dalam membentuk budaya masyarakat. Weber mengambil contoh kebangkitan semangat kapitalisme di Barat sebagai akibat dari pandangan keagamaan yang terkandung dalam etika Protestan. Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang perjuangan para Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk menjelaskan fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru Sufi mereka. Tak dapat disangkal bahwa kemudian Evans-Pritchard dapat menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh empati.
Kesulitan itu terjadi karena ketakutan yang sacral, tabu dan adanya keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari Tuhan. Akan tetapi, agama dalam kajian ini dipandang sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia.
Gagasan Weber mengkaitkan agama dengan penggolongan struktur sosial dan basis ekonomi, dan ideologi politik. Ahl ini memiliki pengertian adanya hubungan timbal balik antara kepercayaan dan pembangunan politik dan ekonomi. Kebangkitan agama dari Weber menandai kebangkitan fundamentalisme dan peranannya di dalam resistensi ‘kaum tertindas’ serta bangkitnya kekuatan dari pihak yang lemah.
Menjadi paradigma yang harus dipegang oleh agama bila ia masih mau memainkan peranannya dalam arena publik modern yang bercirikan sekularisasi, diferensiasi dan rasionalisasi di segala bidang kehidupan. Agama yang ditawarkan oleh Weber adalah satu-satunya dalam dunia yang terkekang untuk keluar dari penilaian kebahagiaan manusia. Walau demikian, bukan berarti agama harus larut dan menjadi sama dengan institusi-institusi modern lainnya. Agama tetap dapat memberikan arah serta pendasaran mutlak atas segala kesibukan di dunia ini pada Yang Ilahi. Sebab, kalau tidak demikian, kita akan berada dalam kebingungan yang mendalam dalam hal pendasaran makna hidup dan perjuangan di dunia ini. Sehingga, Weber memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana masyarakat berubah dan mengalami kemajuan. Ia justeru menemukan bahwa agama merupakan faktor penggerak perubahan sosial.
Agama tidak hanya penting dalam proses konstruksi dunia manusiawi, tetapi juga dalam proses melestarikannya. Agama secara historis merupakan alat legitimasi institusí sosial paling efektif dengan memberikan status ontologis padanya, dengan menempatkannya dalam suatu kerangka sacral dan kosmis. Ritus keagamaan pun berfungsi meningkatkan terus menerus, lewat pengingatan kembali (perayaan) dan legitimasi religius sehingga dapat berinteraksi dengan perbuatan manusia sehari-hari. Untuk tujuan itu, setiap tradisi religius membutuhkan komunitas religius untuk dapat mempertahankan kredibilitasnya: jemaah dan ummat.
Created by =meida_suswandari
From;berbagai sumber.

Tidak ada komentar: