Selasa, 10 Februari 2009

Cerpen : Benih kesempurnaanku

BENIH KESEMPURNAANKU
By : Meidawati Suswandari

Sabung ayam lebih tepat merupakan gambaran dari masyarakat Bali yang mereka gambarkan tentang diri mereka sendiri. Tulisan Geertz tentang sabung ayam atau adu ayam pada masyarakat Bali, telah merupakan bagian dari The Balinese Way of Life . Sabung ayam biasanya diadakan di salah satu sudut desa yang jarang dilewati oleh orang banyak dan tempatnya dirahasiakan oleh masyarakat sekitar. Ayam di gambarkan sebagai bagian terpisah dengan kehidupan mereka sendiri. Ayam-ayam tersebut merupakan simbol dari kemaskulinan mereka. Seorang pria yang penuh rasa percaya diri dan prilakunya sesuai dengan apa yang dia katakan, dibandingkan dengan ayam berekor yang ekornya besar, kuat dan spektakuler. Seorang pria yang mudah menyerah dikaitkan dengan ayam yang hampir mati dan telah membuat suatu keputusan, yang pada akhirnya akan menyeret orang tersebut dalam kehacuran. Seorang pria pelit, yang menjanjikan akan menjanjikan banyak tapi memberi sedikit dibandingkan dengan seekor ayam yang di pegang ekornya, yang memfokuskan pada satu orang tanpa berusaha membahagiakan orang tersebut.
Sekarang dalam kamus terbesarku, aku lebih mementingkan kelangsungan keluargaku. Hidup berkeluarga bersama isteri dan seorang anak yang tinggal satu atau dua hari lagi akan memberikan kesegaran dalam hidupku ini. Sang buah hati adalah sebuah anugrah terbesar untuk tidak akan mengulangi kembali sikap yang suka main judi dengan sabung ayam dan mabuk-mabukan. Dulu aku dijuluki lelaki yang tidak punya kesiapan materi dengan hidupku yang membujang, senang berjudi, pemabuk lagi pengangguran. Kenangan itu sudah aku kubur empat tahun silam. Sabung ayam yang aku mainkan senantiasa memberiku kemenangan. Namun suatu ketika aku yang berlaku angkuh, ayam yang aku jagokan kalah oleh pemain baru dari tetangga desa sebelah, sampai-sampai ayamku mati, uang pun sekontan aku tanggalkan semua karena aku memasang tiga juta rupiah. Aku menyadari aku berasal dari keluarga yang tidak terdidik lagi kurang mampu dalam hal ekonomi. Sebelum sabung ayam itu, satu hari sebelumnya aku membongkar isi lemari ibuku dan menjual beberapa ekor ayam serta dua kambing milik ayahku untuk menyiapkan uang berjudi. Uang tiga juta aku dapatkan untuk menyiapkan pertandingan esok di desa sebelah. Naas bagiku, keberuntungan tidak lagi berpihak padaku. Orang-orang yang dahulu memujaku sebagai titisan sabung ayam yang mumpuni. Namun sekarang mungkin sudah tidak teringat lagi akan memory itu dan sudah terhapus dari ingatan mereka.
”Mas, sedang apa melamun di situ?”, sapa isteriku membuyarkan mengenang masa lalu.
”Iya, Dek. Tidak apa, sedang memikirkan nama yang cocok untuk genduk kita nantinya”, jawabku memastikan isteriku agar tidak curiga.
”Wis, to Mas. Sesuk yo ketemu to. Yang penting anak kita nanti, lahir dengan bagas waras”, ucap isteriku dengan bijak.
Aku benar-benar beruntung mendapatkan gadis perawan yang aku pinang begitu lembut hatinya dan mau menerimaku apa adanya. Meski masa suramku yang terkenal dengan judi dan mabuk, tidak menjadikan dia untuk gentar menjadikanku suaminya.
”Matur Nuwun, ya Gusti”, bisikku dalam hati.
Aku pun melangkahkan kedua kaki ini dan berjalan menuju halaman belakang. Kulihat isteriku sedang mengangkat kayu bakar untuk memasak hari ini. Sontak aku melarangnya, karena aku tidak tega dengan penampilannya yang sekarang. Rasa simpati dan empati mampir dalam otakku. Meski aku belum pernah mengandung dan memang rasanya aku sudah dikodratkan tidak akan pernah mengandung seperti kaum Hawa. Bekerja untuk mengangkat benda yang berat membuatnya lelah. Apalagi keadaan fisiknya yang sekarang sudah bertambah berat badan dan ada gendang besar menempel di depan perutnya.
”Dek, kamu duduk saja disana. Nyalakan api. Biar aku yang mengusungi kayu bakar ini”, ucapku memintanya dengan sepenuh hati.
””Iya, Mas”, jawab isteriku menuruti perintahku.
Isteriku pun membalikkan badannya dari arahku. Dengan berjalan sedikit tertatih, tangan kanan memegang pingangnya yang sebelah kanan dan perutnya yang membuncit disodorkan ke depan semakin membuatku memelas padanya. Baju daster yang ia kenakan warnanya kian usang. Aku hanya membelikan kain daster tiga buah. Sedang itupun harus dilakukan secara gonta-ganti. Sehingga warna baju kian usang karena sering dikucek dan dijemur oleh sengatan terik matahari.
Desir angin menyibak rambutnya yang panjang sepunggung. Pertalian uraian rambut dari helai yang satu hingga helai yang lainnya tidak dikucirnya. Sehingga jika angin menyeru untuk lewat berupa desir-desir hembusannya, isteriku akan nampak sebagai perempuan yang membuatku terpana seperti saat aku pertama kali menganalnya. Menyukai seseorang untuk janji sehidup semati dalam pertarungan sebuah keluarga harus ada dalam prinsipku, hanya kecuali maut yang memisahkan kami. Jangan ada kamus untuk berpindah ke lain hati. Isteri satu sudah cukup. Bersikap bijak dan mengatur arus rumah tanggga dengan kebersamaan adalah prinsipku.
Peran seorang ibu dalam sebuah keluarga apalagi sedari janin masih berada di kandungan, sangat penting. Menurut asam garam yang pernah aku ketahui dari nenek moyang secara turun temurun, ada 4 peran seorang ibu secara duniawiah dan 4 peran ibu secara rokhaniah. Seorang ibu akan berperan duniawiah dengan ketentuan bahwa ibu adalah surga bagi suaminya. Laki-laki tanpa pendamping wanita sebagai tambatan hatinya, di rumah serasa gersang dan tawar rasanya. Peran ibu kedua adalah surga bagi manikem yang telah ditanam oleh sang suami dirahimnya. Proses pembuahan yang berlangsung selama 3 x 40 hari, berturut-turut mengalami proses perubahan wujud, sejak berupa nutfah pada 40 hari pertama, alaqah pada 40 hari kedua, gumpalan daging pada 40 hari ketiga dan memasuki tahap 40 hari ke empat dimana embrio tersebut dimasuki roh oleh malaikat. Dan dalam hitungan 9 bulan 10 hari atau 7 x 40 hari = 280 hari, bayi membesar dalam rahim sang ibu. Peran ibu ketiga adalah menjadi surga bagi anak-anaknya. Yang keempat adalah ibu menciptakan surga secara luas dalam masyarakat dan bangsanya.
Sedangkan peran ibu secara rokhaniah meliputi, yang pertama adalah seorang ibu (isteri) sebagai garwa, sigaraning nyawa bagi suaminya. Perkawinan yang dilandasi kesucian cinta kasih dari dua insan sering digambarkan antara Dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih. Peran kedua, seorang ibu sebagai indung atau empu . Yang ketiga, seorang ibu sebagai kang ngayani batin anak. Sedangkan peran seorang ayah disini adalah kang ngukir jiwa . Sang ayah memilih dan menentukan tujuan besar dan kecilnya isi rohani, sedangkan ibu yang memberi muatan isi rohani itu. Yang keempat, seorang ibu sebagai ratuning kaluwarga . Memberikan didikan moral dan etika kepada anak-anaknya.
Itulah sedikit gambaran betapa pentingnya kaum Hawa menjadi ibu yang mendidik dan membentuk pola kesuksesan dalam rumah tangga. Tidak terlepas dari pengetahuan yang aku pahami, isteriku juga sudah aku beri wejangan yang demikian. Maklum pengalaman menjadi seorang ibu adalah untuk pertama kalinya selama dalam hidupnya. Aku juga pengalaman yang pertama untuk bersiap diri dipanggil dengan sebutan Ayah oleh anakku.
Nampak di luar udara semakin meredup. Aku bergegas mengajak Sri, isteriku masuk kedalam rumah. Kabut berubah menghitam. Suara angin yang menderu semakin terdengar di gendang telinga. Bahkan semakin berasa di kulit. Tabur-tabur debu, daun yang berjatuhan dari atas pohon karena mungkin memang sudah layu ataupun sudah tua menjadi hiasan yang nampak sebagai tanda-tanda akan datang hujan. Suara petir sedikit menyeimbangkan suasana. Sesekali aku menengok dari dalam tirai jendela untuk menyaksikan kehebatan itu. Proses alam yang tidak bisa ditentang. Keagungan Tuhan menampakan diri. Detik-detik awan yang berkondensasi telah datang. Genteng rumahku menjadi berbunyi atas timpaan air hujan yang menjatuhi genteng. Suara semakin berisik dengan semakin lebatnya air hujan yang kian menghujamkan derasnya titik-titik hujan.
Isteriku yang hendak melanjutkan memasak di dapur, aku melarangnya. Biarlah air hujan diberi waktu ruangnya terlebih dahulu untuk menyerukan keindahan alamiah dari sang Kuasa. Dalam sela-sela hening dan yang terdengar hanya detakan titk-titik hujan di genteng, Sri keluar dari ruang makan. Dengan secangkir kopi hangat, dia sungguhkan padaku.
”Mas, minumlah untuk menghangatkan badan”, perintah isteriku sembari menurunkan tempayan yang berisi gelas secangkir kopi di atas meja tamu. Aku yang duduk berdiam, memberikan balasan senyum hangat padanya. Tak lupa aku memberi ucapan terima kasih dan cukup aku tuangkan dalam hati. Toh mungkin isteriku sudah mengetahui aku akan senang menerima secangkir kopi darinya.
”Untung ya, Mas. Tadi kayu-kayu di belakang sana sudah kita angkat”, ucap Sri mengawali pembicaraan.
”Iya, Dek. Mas tadi juga terburu-buru karena ada tanda-tanda kalau hujan akan datang lagi. Sebab kita ketahui ini bulan Agustus, musim penghujam mendominasi”, jawab ku sembari mengambil secangkir kopi yang masih panas itu.
”Mas, sudah punya pesangon untuk mempersiapkan kelahiran anak kita”, tanya Sri padaku.
”Besok Mas akan jual satu kambing peliharaan kita. Mudah-mudahan cukup untuk membiayai persalinan”, jawab ku.
”Bukan soal itu. Kalaupun urusan persalinan, Sri siap dan tidak apa bayi ini dilahirkan lewat dukun bayi. Maksud Sri bahwa Mas apakah sudah siap menjadi seorang Ayah?”, tanya Sri yang mengundang rasa penasarannya dan dari pelupuk matanya membutuhkan jawabanku yang membuatnya senang.
”Dengan segala resiko, Mas siap lahir dan batin menjadi seorang Ayha. Sedangkan Dek Sri bagaimana.?. Siapkah menjadi seorang Ibu bagi anak-anak kita?”, ucapku berbalik bertanya.
”Kerendahan hati Sri yang terdalam, sudah siap dan mantap menjadi pelipur seorang ibu yang membuat bangga untuk anak-anaknya”, jawab Sri sembari memberi senyuman hangat padaku.
Hujan sudah lelah dengan tingkahnya yang senantiasa menjatuhkan detak-detakan tetesan air hujan di genteng atap rmahku. Akhirnya reda juga. Dipalingkan oleh isteriku dari kain rajutan yang sedang dipahatnya dengan benang. Lantas dengan bantuanku Sri berniat ke dapur untuk melanjutkan masak makanan untuk malam ini. Karena sebulumnya air hujan memberhentikan aktifitas Sri di dapur dan memang karena ku larang. Setelah ku bantu dia berdiri, Sri memintaku untuk tidak lagi membantunya di dapur. Urusan wanita sangat tidak etis dikerjakan bagi kaum laki-laki, apalagi soal dapur dan memasak. Namun beda dengan realitas sekarang, sudah banyak koki yang pandai menghasilkan cita rasa masakan yang enak dan koki tersebut adalah kaum Adam.
Citra dunia modern beda dengan kekolotan orang desa bahkan yang masih tradisional. Menjadi hal tabu untuk kaum laki-laki membantu memasak di dapur. Itu tugas perempuan. Sejenak aku tetap memperhatikan isteriku berjalan. Seperti di halaman belakag tadi, Sri ku tatap dengan penuh iba. Langkah kakinya yang berjalan tertitah-titah sembari menyelusuri tembok yang terbuat dari kayu, Sri menuju ke ruang dapur. Belum sempat aku berpijak dari mataku yang memandang dari belakang isteriku itu, Sri mengeluh kesakitan.
Rasa was-was bergulir dalam otakku.
“Mungkin dia akan melahirkan”, gerutuku dalam hati.
”Mas. Tolong bawa aku ke tempat tidur. Perut ini rasanya sakit dan semakin menendang-nendang”, ucap Sri terbata-bata. Dengan nafas tidak beraturan, Sri jatuh tersungkur dalam dekapanku, lantas aku membopongnya sekuat tenaga meski aku rasa begitu berat sekali jika mengetahui berat badan Sri hampir enam puluh dua kilogram.
Dengan suasana yang sedikit mencekam campur bingung, ku putar otak untuk memutuskan memanggil dengan segera dukun bayi yang kebetulan rumahnya tak jauh dari rumahku. Cukup dengan lari sekencangnya, selama tiga menit sudah sampai. Karena kami masih dalam tetangga RT. Tidak tepikir olehku untuk membawa payung agar tidak basah kuyup badan ini. Aku seketika lari menuju luar rumah dan memanggil saudaraku yang rumahnya bersebelahan untuk menemani Sri di rumah. Sedikit lega, Sri ada yang sudah mau menemani. Aku langsung lari menuju rumah Mbok Darmiyem, seorang dukun beranak di kampung kami.
Waktu semakin memberikanku keterbatasan bahwa isteriku butuh pertolongan. Mbok Darmiyem serta merta menyiapkan peralatan bersalin secara tradisional. Kami berjalan menuju Sri yang sedang meraung kesakitan. Sesampainya di depan rumahku, Sri yang masih terbaring lemas di atas kasur terperana dengan kedatangan aku dan Mbok Damiyem.
”Iya, Le. Isterimu mau melahirkan”, ucap Mbok Darmiyem yang telah melakukan sedikit ritual untuk mengecek gejala yang dialami Sri.
”Kamu tunggu di luar sana. Bantu Sri dengan do’a”, ucap Mbok Darmiyem padaku.
Aku menuruti perkataan dukun bayi itu, aku tidak diperkenankan menyaksikan persalinan itu. Cukup di luar dengan memberi restu lewat do’a mustajab. Suara Sri mengerang kesakitan membuatku semakin was-was saja. Lima belas menit kemudian, tangisan suara bayi mengalun dari dalam kamar.
”Sri engkau telah membuktikan sanggup menjadi seorang ibu”, ucapku sembari mengucap syukur.
Aku pun dipanggil oleh Mbok Darmiyem untuk melihat kondisi Sri. Dengan rona merah wajah yang begitu suci, aku melihat bayiku menangis selugu-lugunya. Dia berjenis kelamin laki-laki. Inilah kemenanganku sesungguhnya. Aku sudah dapat membuktikan jalan hidupku yang menapaki sempurna. Lima belas menit yang lalu aku terlahir dengan sebutan Ayah.

Tidak ada komentar: