Sabtu, 14 Februari 2009

INKLUSI ISLAM DALAM NATURE DAN NURTURE “GENDER”

By : Meidawati Suswandari

Selama ini ada diantaranya beberapa ajaran Islam yang terkait dengan persoalan sosial yang sering dipahami dalam hal unsur ketidakadilan gender. Dengan memahami secara kontekstual dan tekstual, disana kita akan mendapatkan pesan yang terkandung didalamnya dan membangun ajaran sehingga prinsip kesetaraan gender dan keadilan gender diimplementasikan dari waktu ke waktu. Adapun implementasi tersebut di kalangan umat Islam telah tercermin dalam masyarakat Madinah di bawah pimpinan Rasulullah SAW. Oleh karena itu pada saat ini dalam keadilan gender muncul akibat dari penafsiran dan pemahaman agama yang bertumpu pada teks dan kerangka budaya patriarki yang menempatkan perempuan pada subordinat. Pandangan subordinat ini bahwasanya pembagian peran domestik bagi perempuan dan peran publik bagi laki-laki. Pembagian tersebut dikaitkan dengan faktor biologis perempuan. Sebagai orang yang mengandung dan melahirkan, perempuan dipola untuk bertugas di rumah, yang berkaitan dengan pemeliharaan anak dan wilayah kerja seputar sumur, dapur dan kasur. Sebagai akibatnya perempuan tidak memperoleh tempat publik yang sebanding dengan yang diperoleh kaum Adam tersebut.
Kondisi adil bagi laki-laki dan perempuan untuk mengaktualisasikan diri bagi kehidupannya baik dalam bermasyarakat, agama, bangsa dan negara. Keadilan gender ini berlaku atau berkaitan dengan adanya kesetaraan gender, yaitu kesamaan peluang dan kesempatan dalam bidang sosial, politik ekonomi antara laki-laki dan perempuan. Berbicara mengenai gagasan kesetaraan gender lahir dari persepsi-persepsi yang tidak melibatkan campur tangan Allah di dalamnya sebagai pencipta manusia yang maha adil. Berbagai persoalan yang melanda negara-negara dunia ketiga yang sebagian besar adalah negeri Islam seperti pendidikan rendah, kemiskinan, tindak kekerasan bukan hanya kaum perempuan menjadi korbannya tetapi juga kaum laki-laki.
Setiap agama mengemban misi pembebasan dan tidak lagi dogmatis. Semangat pembebas tersebut salah satunya tercermin dalam teks kitab suci dan teraktualisasi dalam kehidupan nyata oleh para pemeluknya. Namun demikian, sering kali terjadi kesenjangan yang luar biasa antara teks dalam kitab suci dengan teks penafsiran atas kitab suci. Disisi lain tidak bisa terlepas dari peran media massa secara terus-menerus membangun wacana mengenai penguatan hak-hak perempuan dengan melakukan gecar terhadap isu kekerasan berbasis gender.
Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa.
PARADIGMA GENDER
Praktek Gender pada mulanya sudah ada pada zaman Nabi. Kehidupan perempuan di masa Nabi perlahan-lahan sudah mengarah kepada keadilan gender. Akan tetapi setelah beliau wafat dan wilayah Islam semakin meluas, kondisi ideal yang mulai diterapkan Nabi kembali mengalami kemunduran. Dunia Islam mengalami enkulturasi dengan mengadopsi kultur-kultur androsentris. Wilayah Islam bertambah luas ke bekas wilayah jajahan Persia di Timur, bekas jajahan Romawi dengan pengaruh kebudayaan Yunaninya di Barat, dan ke Afrika, seperti Mesir dengan sisa-sisa kebudayaan Mesir Kunonya di bagian Selatan. Pusat-pusat kebudayaan tua tersebut memperlakukan kaum perempuan sebagai the second sex. Para ulama yang berasal dari wilayah tersebut sulit melepaskan diri dari kebudayaan lokalnya di dalam menafsirkan sumber-sumber ajaran Islam. Akibatnya, fiqih yang berkembang di dalam sejarah Islam adalah fiqih patriarki. Dapat dimaklumi, komunitas Islam yang semakin jauh dari pusat kotanya (heartland), akan semakin kuat mengalami proses enkulturasi.
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”.Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam kata lain, gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Gender di pahami sebagai perbedaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang sebenarnya hasil bentukan masyarakat sebagai ciri biologis atau sebuah kodrat Tuhan. Pembentukan ini terjadi oleh proses enkulturisasi (pembudayaan) dan sosialisasi yang berlangsung dalam suatu setting sosial sejak seseorang dilahirkan hingga dewasa. Dalam hampir setiap masyarakat faktor sex ini membawa konsekuensi dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan dan dalam sistem pembagian kerja artinya setiap masyarakat menetapkan peraturan-peraturan, kode-kode yang merupakan pedoman bagi tingkah laku perempuan dan laki-laki misalnya perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga sedang laki-laki dianggap tidak pantas. Menjadi pemimpin masyarakat sepeti dalam adat, kepala desa dan lebih pantas oleh laki-laki dan sebagainya.

SOSIO-BIOLOGIS (NATURE DAN NURTURE)
Gender menyangkut gagasan, perlakuan, dan bahkan teknologi bias gender dan erat kaitannya terhadap konstruksi budaya. Pembagian laki-laki dan perempuan tel;ah lama dilakukan dan menjadi kajian yang menarik. Banyak teori dikemukakan untuk memberikan alasan mengapa pembagian dilakukan mulai dari teori nature atau kodrat alam, teori kulture atau kebudayaan, teori fungsionalisme structural dan teori psikologi analisa Dalam pendekatan ketidaksetaraan gender ini, saya akan mengkaitkan dengan teori sosio-biologis yang mencoba mengelaborasikan teori nature dan nurture.
Gagasan seputar ketidasetaraan gender dan upaya membebaskan perempuan dari belenggu rumah tangga sesungguhnya berpijak dari pandangan yang keliru tentang manusia. Pria dan wanita berikut potensi-potensinya masing-masing. Sejumlah penolakan yang bersifat fitri dan kodrati pada manusia. Akibatnya, muncul asumsi-asumsi yang salah terhadap penyelesaian persoalan manusia, termasuk perempuan misalnya, memandang sifat feminin sebagai hasil bentukan kultur, demikian pula peran wanita di rumah tangga. Namun, pandangan tersebut sering terbantahkan oleh kenyataan, karena ada perempuan yang secara sukarela, ikhlas dan tanpa merasa terpaksa selalu mendambakan peran sebagai ibu rumah tangga bagi dirinya sendiri.
Pandangan di sekitar teologi gender berkisar pada tiga hal pokok: pertama, asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan, kedua, fungsi keberadaan laki-laki dan perempuan, ketiga, persoalan perempuan dan dosa warisan. Ketiga hal ini memang dibahas secara panjang lebar dalam Kitab Suci beberapa agama. Mitos-mitos tentang asal-usul kejadian perempuan yang berkembang dalam sejarah umat manusia sejalan dengan apa yang tertera di dalam Kitab Suci tersebut. Mungkin itulah sebabnya kaum perempuan kebanyakan menerima kenyataan dirinya sebagai given dari Tuhan. Bahkan tidak sedikit dari mereka merasa happy jika mengabdi sepenuhnya tanpa reserve (mengeluh) kepada suami.
GENDER DAN AGAMA
Gender dan agama, dalam Islam sudah mengatur kedudukan perempuan sebaiknya sebagaimana yang banyak dipahami dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak banyak kesempatan yang dilakukan oleh perempuan sebagaimana didapatkan dari laki-laki itu adalah cara Islam menghormati dan memuliakan perempuan. pencitraan laki-laki dalam Islam sebagai sosok pemimpin atau kepala keluarga di kalangan masyarakat Indonesia masih terbius dengan acuan akar budaya paternalis dan maskulinitas yang diisi dengan muatan-muatan hierarkis dalam nuansa hubungan laki-laki dan perempuan sebagai pemimpin dan yang dipimpin, pendominasi dan yang didominasi, pelindung dan yang dilindungi serta serentetan hierarkis lainnya yang menempatkan perempuan dalam posisi ketidaksetaraan. Bahkan pencitraan ini didukung oleh ayat-ayat Al-Qur`an yang diinterpretasikan sedemikian rupa dan diyakini sebagai legitimasi teologis oleh masyarakat muslim Indonesia.
Terdapat suatu kelebihan dan kekurangan yang dimiliki antara laki-laki dan perempuan baik dari segi fisik maupun social. Kelebihan yang menjadi daya tarik perempuan dengan keberadaan seorang laki-laki adalah yang memang secara biologi (fisik) tercipta dengan tubuh yang lebih kuat dan karisma kepemimpinan yang tegas dari pada wanita. Namun tak menyudutkan juga, ada beberapa laki-laki yang standar kelaki-lakiannya menyerupai wanita (dan saya tidak berbicara dalam wilayah tersebut). Secara global, laki-laki mendapat kepercayaan penuh dengan keberadaannya dalam segi peran dan stuktur masyarakat. Dan hal ini tidak bisa terlepas dengan adanya pandangan nurture. Lingkungan membentuk konstruksi yang menyoalkan kaum Adam lebih unggul dalam banyak hal. Hanya saja dalam urusan dapur dan anak, menjadi pekerjaan dari kaum Hawa. Oleh karena itulah, yang menjadi kelemahan bagi kaum Hawa yang dikonstruksikan kurang kompeten dam urusan kepemimpinan dan dipandang lemah dalam hal fisik.
Dengan sebuah perasaan yang dan kelembutan menjadi ciri khas (identitas) dari wanita untuk memberikan pengasuhan pada generasi muda, terutama dimulai dari anak mereka selagi dalam kandungan, dilahirkan, kemudian dirawat dan dibesarkan. Dalam proses tersebutlah yang menjadikan kelebihan wanita bagaimana perannya yang mencetak pola pikir dan otak sesosok manusia dari keturunannya untuk menjadi manusia yang beradab dan beretika. Hal ini bisa terbukti dengan kegiatan seorang ibu yang lebih dekat dalam hal emosional dan psikologis sang anak. Tidak heran tanggal 22 Desember diabadikan sebagai penghormatan terhadap kaum Hawa terutama bagi ibu mulai dari perjuangan dan pengorbanan memberikan pengajaran dan pendidikan secara mental untuk berbudi yang diidealkan dalam setiap keluarga. Tapi disini, bukan berarti menunjukkan marginalisasikan peran seorang ayah yang berjuang pula dalam hal mencari nafkah.


Created by : meida_suswanadari sos_ant

HOMANS DAN ANALOGI PERILAKU KONSUMEN “TANAMAN HIAS”

HOMANS DAN ANALOGI PERILAKU KONSUMEN “TANAMAN HIAS”
By : Meidawati Suswandari

Jemani, anthurium dan gelombang cinta adalah merupakan komoditas instant. Seperti halnya saat bomingnya Ikan Arwana dan lohan yang pernah ngetrend, maka secara alamiah komoditas instant adalah semakin diburu semakin mahal, karena membuat orang semakin penasaran. Namun bila rasa penasaran telah terpenuhi, maka harga komoditas tersebut akan jatuh, kecuali bila komoditas tersebut memiliki value atau manfaat yang tinggi bagi penggunanya. Dan tidak ubahnya dengan cerita dongeng. Harganya bisa semahal satu mobil Mercedes seri S. Kalau dibelikan rumah, bisa dapat lima-enam buah dengan luas tanah 180-an meter di pinggiran Jakarta. Bagaimana bisa menjelaskan satu tanaman hias daun anturium yang harganya Rp 600 juta bahkan Rp 1,2 miliar per buah? Harga ratusan juta rupiah juga pernah diraih adenium.
Dalam trend tanaman hias pun seakan terus mengelinding menyertai setiap kemunculan trend baru tanaman hias. Menggilanya harga tanaman hias yang selagi dalam trend membuat banyak pihak terheran-heran. Lihatlah harga anthurium sampai menyentuh jutaan. Para penghobi, penjual tanaman hias dan bahkan pengamat tak lagi berbisik-bisik, tetapi telah terang-terangan bicara dugaan permainan trend pada tanaman hias. Untuk membentuk bisnis menjadi trend semacam ini adalah dengan cara membuat suasana dengan pola permintaan secara semu, yaitu permintaan yang tidak sesungguhnya. Permintaan semu ini direkayasa oleh kekuatan dari orang-orang tertentu secara otomatis cenderung untuk mendukungnya. Akibat dari permintaan semu ini terhadap komoditas tersebut menjadi melambung tinggi, tidak terkendali bahkan terkesan irasional. Dalam pengertian perilaku pada konsumen menjadi sesuatu yang mencolok.
Selain itu peran media juga sangat esensial dalam komunikasikan eksistensi tanaman hias, baik berupa media elektronik maupun media cetak keduanya ikut andil dalam membentuk opini masyarakat, menyampaikan informasi harga, perkembangan dan trend tanaman dan yang lainnya. Fenomena ini menunjukan bahwa demam anthurium membawa dampak yang positif terhadap perkembangan media masa sedangkan media massa membentuk opini yang mampu mengangkat perbisnisan berupa anthurium. Jadi ada hubungan mutualisme yang saling menguntungkan. Hal ini dibenarkan oleh teori konsep sikap dari Dra. Ristiyanti prasetijo, MBA dan Prof. John J.O.I Ihalauw bahwa :“Pengaruh media massa tidak boleh dianggap remeh. Perusahaan menggunakan berbagai macam media massa secara efektif untuk mempengaruhi sikap audiens yang merupakan konsumen atau calon konsumen perusahaan itu. Sikap dapat terbentuk dari jenis media massa yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi tentang produk”
Sehingga menyampaikan pesan informasi, membentuk opini melalui media masa maupun even-even yang mereka bentuk seperti mengadakan pameran, exspo, kontes pemilihan jemani sampai pemilihan Duta Putri Jemani yang menjaring wanita-wanita cantik pun dilakukan dan itu sah-sah saja serta bisa dilakukan untuk mengangkat nilai dari suatu komoditas yang dikehendaki.
BENDA DALAM PEMAKNAAN
Masyarakat saat ini sedang digandrungi dengan berbagai spesies yang ditawarkan oleh publik dari tanaman hias. Mendadak orang bisa beli mobil ataupun rumah berkat Jemani. Kini juga semakin banyak kios tanaman hias di pusat-pusat perbelanjaan kota. Kita pun kerap melihat ibu-ibu atau bapak-bapak memarkir sedan di tepi jalan untuk mendatangi lapak dagangan tanaman hias. Maka, pameran dan pengembangan untuk menanggapi pasar tanaman hias semakin membesar.
Menggilanya harga tanaman hias yang selagi dalam trend membuat banyak pihak terheran-heran. Lihatlah harga anthurium sampai menyentuh jutaan.
Hal ini tidak terlepas dengan adanya tangan-tangan yang memainkan dalam trend tanaman hias. Para penghobi, penjual tanaman hias dan bahkan pengamat tidak k lagi berbisik-bisik, tetapi telah terang-terangan menikmati isu tersebut.
Tanaman diibaratkan sebuah benda. Lantas apa makna benda-benda bagi manusia? Baik dari sudut pandang masyarakat tradisional maupun masyarakat modern pertanyaan ini bisa dijawab dengan dua hal, yang merupakan pokok kajian budaya materi (budaya pemanfaatan benda-benda oleh manusia, bagaimana manusia berhubungan dengan benda). Oleh Mary Douglas (antropolog) dan Baron Isherwood (ekonom) (1979) menanggapi dalam persepsinya :“Fenomena peradagangan/ekonomi juga masih termasuk dalam perspektif ini. Pertama, benda-benda bisa diletakkan dalam perspektif fungsional saja. Yang kedua, benda-benda bisa juga diletakkan dalam perspektifnya sebagai totem, yaitu diasosiakan secara simbolik dengan sesuatu yang lain. Di sini benda-benda berperan sebagai pembawa maknamakna sosial tertentu. Cincin misalnya, yang tak terlalu penting dalam perspektif fungsional, dalam perspektif totem bisa bermakna kecantikan, kekayaan, atau ikatan kesetiaan”
Benda bisa beralih fungsinya terhadap dampak materi. Seperti halnya tanaman hias, seolah-olah benda tersebut berdampak adanya reward tertentu yang mampu dihasilkan dari ketertarikan dengan kepemilikan tanaman hias. Kemudian berkembanglah unsure komoditas yang menggambarkan penyembunyian cerita tentang siapa dan bagaimana sebuah objek dibuat. Dalam pandangan Marx, hal tersebut merupakan objektifikasi kesadaran sosial. Ini berawal dari distingsi Marx antara produksi yang bermanfaat langsung bagi pembuatnya dengan produksi yang semata-mata untuk kepentingan pasar.
HOMANS DAN PERTUKARAN PERILAKU
Teori pertukaran social dilandaskan pada prinsip transaksi ekonomis yang elementer, orang menyediakan barang atau jasa dan sebagai imbalannya berharap memperoleh barang atau jasa yang diinginkan. Akan tetapi, pertukaran social tidak selalu dapat diukur dari hal nyata dan tidak nyata. Teori pertukaran Homans ini bertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Pertukaran perilaku untuk memperoleh ganjaran adalah prinsip dasar dalam transaksi ekonomi sederhana. Homans percaya bahwa proses pertukaran dapat dijelaskan dalam lima pernyataan proporsional berasal dari psikologi BF. Skiner. Diantaranya proporsi sukses, proporsi stimulus, proporsi nilai, proporsi deprivasi satiasi dan proporsi restu agresi. Namun saya ingin menghadirkan dalam tiga proporsi.
Pertama, proposi sukses, yang menyatakan :“Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka kian kerap ia akan melakukan tindakan itu” Jika ditelaah, maka bagaimana peran sebuah media yang berhasil membuat konsumen tersihir secara magic untuk mengikuti segala hal yang dipromosikan, diberitakan dan dieksploitasi sedemikian rupa. Dengan keberhasilan media dapat menggaet perilaku dan pola konsumtif secara massa, maka semakin gencar pula peran media tersebut memboomingkan konsepsi suatu benda. Tanaman hias yang tercipta dari sebuah benda yang tadinya hanya biasa-biasa saja seperti untuk pajangan atau hiasan halaman rumah, dikonstuksikan sebagai sebuah merek dan produk yang bervalue tinggi.
Proporsi yang kedua adalah stimulus. “Jika dimasa lalu terjadinya stimulus yang khusus, atau seperangkat stimuli merupan peristiwa di mana tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu, akan semakin mungkin seseorang melakukan tindakan serupa atau yang agak sama”. Pengertian dasar stimulus diatas menyeragamkan definisi bagaimana proporsi sukses mengelabuhi konsumennya. Namun dalam proporsi stimulus ini, cenderung lebih spesifik aturan mainnya. Peran media massa yang menampilkan gambaran secara umum keberhasilan dan kesuksesan seseorang yang mengembangkan usaha serta perkembangbiakan tanaman hias dari beberapa jenis atau spesies tanaman hias yang laku terjual, sehingga seolah-olah membuat kotak kebudayaan tertentu yang menyudutkan beberapa jenis tanaman hias yang responsive terhadap nilai jual yang menggiurkan. Hal ini bisa dilihat pada jenis anthurium, jemani dan gelombang cinta. Sedangkan tanaman hias lainnya yang masih dalam taraf belum dan mungkin sebentar lagi akan dinaik-daunkan oleh media massa, bisa saja orang akan semakin gila dan gila dengan sepucuk daun yang senantiasa diagung-agungkan.
Ketiga, proporsi nilai, berisi tentang :“Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian senang seseorang melakukan tindakan itu”. Perilaku konsumen tidak lagi mengkonsumsi sesuatu untuk pemenuhan kehidupan secara primer dan sedikitnya kebutuhan sekunder, namun yang terjadi sekarang ini sudah berubah. Sehingga interprestasinya merujuk kepada prestise. Memang, anthurium bukanlah barang sembako yang menjadi kebutuhan primer setiap orang. Namun, akar sejarah dan budaya masyarakat Indonesia membuktikan, prestise bagi masyarakat Nusantara menjadi sebuah kebutuhan penting. Kebutuhan pada prestise itu dimiliki setiap lapisan masyarakat. Artinya, setiap orang rela membelanjakan uangnya demi sebuah prestise sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Created By :
Meida_suswandari Sos_ant

MENGAJAR ITU APA TO ???

DEFINISI MENGAJAR

Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan pada anak didik atau suatu aktivitas mengorganisasi/mengartur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkan dengan anak sehingga terjadi proses belajar arau sebagai upaya menciptakan kondisi yang kondusif untuk berlangsungnya kegiatan belajar bagi para siswa. (Sardiman, A.M. Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta: Rajawali Pers, hal.47).
Mengajar adalah mengorganisasi hal-hal yang berhubungan dengan belajar dapat dilihat pada segala macam situasi mengajar yang baik maupun yang buruk. Misalnya dalam mengajarkan aljabar kita lihat tugas yang diberikan dari buku, bahan latihan, disusun sejumlah soal-soal, adakan diskusi, diterangkan kesulitan, tanya jawab dan diadakan tes (J.Mursell dan Prof.Dr.S.Nasution,M.A. 2002. Mengajar dengan sukses. Bumi Aksara, hal. 8).
Mengajar berarti menyampaikan atau menularkan pengetahuan dan pandangan (Ad.Rooijakkers.1991.Mengajar dengan sukses. Jakarta : Widiasarana Indonesia,hal 1).
Mengajar lebih menekankan transfer of knowledge (memberi pelajaran) (Sardiman A.M.2001.Interaksi dan Motivasi Belajar mengajar. Jakarta:Pt grfindo Persada, hal 50)
Mengajar merupakan suatu proses yang kompleks, tidak sekedar menyampaikan informasi dari guru kepada siswa. Mengajar adalah segala upaya untuk disengaja dalam rangka memberikan kemungkinan bagi siswa utuk terjadinya proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan. Menurut William H.Burton, mengajar adalah upaya dalam memberikan perangsang (stimulus), bimbingan, pengarahan dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.
Ada 3 pandangan mengenai pengertian mengajar, yaitu :
1. Menyampaikan pengetahuan dari seseorang kepada kelompok
2. Membimbing peserta didik belajar
3. Mengatur lingkungan agar terjadi proses belajar mengajar yang baik.
(Drs.A.Tabrani Rusyan, Atany Kusdinar,B.A, Drs.Zainal Arifin. 1989. Pendekatan dalam Proses belajar Mengajar. Bandung : Remaja Karya CV Bandung).
Arifin (1978) mendefinisikan mengajar sebgai “...suatu rangkaian kegiatan penyampaian bahan pelajaran kepada murid agar dapat menerima, menanggapai, emnguasai dan mengembangkan bahan pelajaran itu”. Tyson dan Caroll (1970), mengajar adalah.”...away working student...a rocess of interaction...the teacher do something to student, the student do something in return”. Dengan arti bahwa, mengajar merupakan sebuah cara dan sebuah proses hubungan timbal balik abtara siswa dan guru yang sama-sama aktif melakukan kegiatan.
Tardif (1989), mengajar adalah “...any action performed by an individual (the teacher) with the intentation of facilitating learning in another indiviidual (the learner), atau perbuatan yang lakukan seseorang (dalam hal ini guru) dengan tujuan membantu atau memudahkan orang lain (dalam hal ini siswa) melakukan kegiatan belajar.
Menurut Biggs (1991), ada 3 konsep pengertian mengajar, yaitu
1. Pengertian kuantitatif (menyangkut jumlah pengetahuan yang diajarkan)
2. Pengertian institusional (menyangkut kelembagaan atau sekolah).
3. Pengertian kualitatif (menyangkut mutu hasil yang ideal)
(Drs. Muhibbin Syah,M.Ed. 1999. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya, hal 182-183).
Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup berat. Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar atau megandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalm hubungan dengan anak didik dan bahan klpengajaran yang menimbulkan proses belajar, mengajar bukan sekedar proses penyampaian ilmu pengetahuan melainkan terjadinya interaksi manusiawi dengan berbagai aspeknya yang cukup kompleks (Yasin Setiawan.www.siaksofmilikanda.co.id, 18 Februari 2008).
Mengajar adalah aktivitas/kegiatan yang dilakukan guru dalam kelas atau lingkungan sekolah. (http://www.tabloidpenaburjakarta.com. Etiwati. Mengajar Dengan Sukses).
Mengajar merupakan suatu seni untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang diarahkan oleh nilai-nilai pendidikan, kebutuhan-kebutuhan individu siswa, kondisi lingkungan, dan keyakinan yang dimiliki oleh guru. (http://www/problematika_sptr_guru_23.html. Anonim. Problematika Seputar guru).
Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.(www.sitial-furqon.blog.co.id oleh H. Emil Rosmali, SE Tugas Dan Peran Guru)

Created By : meida_suswandari Sos-Ant

GANTI BAJU DALAM STRUKTUR SOSIOLOGI PEMBANGUNAN

GANTI BAJU DALAM STRUKTUR SOSIOLOGI PEMBANGUNAN

Dibawah ini merupakan opini saya mengenai sebuah struktur yang berlaku di Indonesia apakah hanya ganti baju saya????
Menurut hemat saya adalah iya. Saya setuju bahwa kondisi strukturisasi yang ada di Indonesia dari setiap pergantian kepemimpinan atau penguasa hanya mencakup perubahan wajah dari orang yang ini menjadi orang yang itu. Hal ini saya tengarai dengan adanya kebebasan individu yang masih banyak terbelenggu oleh kesulitan dan kekangan dari berbagai pihak. Mayoritas rakyat terbelenggu oleh kesulitan ekonomi, pelanggaran HAM dan kebebasan berpendapat dalam komunikasi massa tanpa mendapat perlindungan hukum yang semestinya dari negara yang sudah merdeka. Baik dalam pasal 27 maupun pasal 28 UUD 1945 dari sudut pandang kebebasan individu tersebut masih belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya.
Nilai-nilai kini tergantikan dengan nilai baru yang akan dianggap sebagai kebenaran. Seperti halnya fetimisme (pemujaan) dalam materi, sikap pesimis terhadap berbagai penyelewengan, penghormatan terhadap koruptor. Tidak lagi diindahkannya orang yang berbuat jujur, kemerosotan akhlak dan meluasnya kesenjangan dalam kehidupan perekonomian dalam masyarakat.
Secara spesifikasi saya akan menggolongkan kekurangan dalam sebuah pergantian struktur di Indonesia yang sifatnya hanya ganti baju saja, diantaranya :
1. peninggalan masa Orde baru yang telah mewariskan penderitaan rakyat Indonesia di bidang ekonomi sampai pada era sekarang ini. Diktatorisme pembangunan dalam sikap egoisme seorang penguasa sehingga muncul kolusi dan nepotisme.
2. fenomena lain berupa penindasan manusia oleh manusia dalam pelanggaran HAM baik oleh penguasa sipil dan militer maupun oleh anggota masyarakat.
3. adanya penjajahan politik dan hukum yang didorong oleh kekuasaan dan uang. Bahkan demokrasi dan kedaulatan rakyat menjadi obyek jual beli dan tawar menawar oleh para penguasa. Sebagai contoh para penguasa menyuarakan dalam kampanye pemilu. Tapi setelah itu mereka lupa dengan janji mereka kepada rakyat kecil, boleh dibilang mereka tidak ksatria, tidak fair dan ingkar janji. Disamping itu, dibidang hukum banyak para elit penguasa yang hingga kini merasa dirinya kebal hukum, sebagai contoh yang terjadi pada kasus korupsi BLBI yang menyuap jaksa Urip Tri Gunawan.
4. Tidak ada keterbukaan politik, kurang berfungsinya legislatif dan masih banyak “pelacur-pelacur politik’. Kenyataan dimana mereka lebih memihak atau mementingkan kepentingan pribadi (perut) dari pada kepentingan masyarakat. Para penguasa atau orang kaya mempunyai kesempatan mengenyam kenyaman dan berbagai fasilitas. Akan tetapi, banyak orang miskin yang tidak memperoleh kesempatan untuk bisa menikmati kehidupan secara lebih baik, contohnya pendidikan.

Created by :
Meida_Suswandari Sos_ant

Kemiskinan Budaya

KEMISKINAN BUDAYA
PENGERTIAN KEMISKINAN
Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Kemiskinan senantiasa menarik perhatian berbagai kalangan, baik para akademisi maupun para praktisi. Berbagai teori, konsep dan pendekatan pun terus menerus dikembangkan untuk menyibak tirai dan mungkin “misteri” mengenai kemiskinan ini. Dalam konteks masyarakat Indonesia, masalah kemiskinan juga merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji secara terus menerus. Ini bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama, melainkan pula karena masalah ini masih hadir di tengah-tengah kita dan bahkan kini gejalanya semakin meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh Bangsa Indonesia. Meskipun pembahasan kemiskinan pernah mengalami tahap kejenuhan sejak pertengahan 1980-an, upaya pengentasan kemiskinan kini semakin mendesak kembali untuk dikaji ulang. Beberapa alasan yang mendasari pendapat ini antara lain adalah:
Pertama, konsep kemiskinan masih didominasi oleh perspektif tunggal, yakni “kemiskinan pendapatan” atau “income-poverty” (Chambers, 1997). Pendekatan ini banyak dikritik oleh para pakar ilmu sosial sebagai pendekatan yang kurang bisa menggambarkan potret kemiskinan secara lengkap. Kemiskinan seakan-akan hanyalah masalah ekonomi yang ditunjukkan oleh rendahnya pendapatan seseorang atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kedua, jumlah orang miskin di Indonesia senantiasa menunjukkan angka yang tinggi, baik secara absolut maupun relatif, di pedesaan maupun perkotaan Meskipun Indonesia pernah dicatat sebagai salah satu negara berkembang yang sukses dalam mengentaskan kemiskinan, ternyata masalah kemiskinan kembali menjadi isu sentral di Tanah Air karena bukan saja jumlahnya yang kembali meningkat, melainkan dimensinya pun semakin kompleks seiring dengan menurunnya kualitas hidup masyarakaat akibat terpaan krisis ekonomi sejak tahun 1997.
Ketiga, kemiskinan mempunyai dampak negatif yang bersifat menyebar (multiplier effects) terhadap tatanan kemasyarakatan secara menyeluruh. Berbagai peristiwa konflik di Tanah Air yang terjadi sepanjang krisis ekonomi, misalnya, menunjukkan bahwa ternyata persoalan kemiskinan bukanlah semata-mata mempengaruhi ketahanan ekonomi yang ditampilkan oleh rendahnya daya beli masyarakat, melainkan pula mempengaruhi ketahanan sosial masyarakat dan ketahanan nasional. Sadar bahwa isu kemiskinan merupakan masalah laten yang senantiasa aktual, pengkajian konsep kemiskinan merupakan upaya positif guna menghasilkan pendekatan dan strategi yang tepat dalam menanggulangi masalah krusial yang dihadapi Bangsa Indonesia dewasa ini.
KONSEP KEMISKINAN
Kemiskinan merupakan konsep yang berwayuh wajah, bermatra multidimensional. Ellis (1984:242-245), misalnya, menunjukkan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). Cara seperti ini sering disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolut. Garis kemiskinan yang digunakan BPS sebesar 2,100 kalori per orang per hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan 1 dolar AS per orang per hari adalah contoh pengukuran kemiskinan absolut.
Secara politik, kemiskinan dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya. Ada tiga pertanyaan mendasar yang bekaitan dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu (a) bagaimana orang dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat, (b) bagaimana orang dapat turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumberdaya yang tersedia, dan (c) bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.


FAKTOR KEMISKINAN BUDAYA
Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Teori “kemiskinan budaya” (cultural poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis, misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja. Faktor eksternal datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan struktural. Menurut pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan” si misikin untuk bekerja (malas), melainkan karena “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam menydiakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Konsepsi kemiskinan yang bersifat multidimensional ini kiranya lebih tepat jika digunakan sebagai pisau analisis dalam mendefinisikan kemiskinan dan merumuskan kebijakan penanganan kemiskinan di Indonesia. Sebagaimana akan dikemukakan pada pembahasan berikutnya, konsepsi kemiskinan ini juga sangat dekat dengan perspektif pekerjaan sosial yang memfokuskan pada konsep keberfungsian sosial dan senantiasa melihat manusia dalam konteks lingkungan dan situasi sosialnya.
WACANA KEMISKINAN BUDAYA
Anggapan semakin memudarnya system budaya akibat kecenderungan melemahnya budaya ikatan persaudaraan, ditinggalkannya nilai-nilai sakral budaya yang sarat makna, adopsi budaya instan tanpa saring menjadi fenomena yang harus kita akui cukup mengkhawatirkan karena komunitas masyarakat Melayu di Pulau Bintan inilah yang menjadi elemen substansial dari pusat kerajaan Melayu- Johor dahulu dengan potensi latar belakang historis dan budaya yang sangat kuat..
Kemiskinan budaya (culture decay) telah merambah Indonesia. Sistem transmisi (pewarisan) budaya dari orang tua kepada anak tak berjalan lagi, dan budaya barat mengerogoti para generasi muda. Sebagai akibat adalah tidak berjalannya hukum dengan baik, politik yang selalu berkecamuk dan kondisi ekonomi yang tidak stabil adalah beberapa hal yang sangat penting menyebabkan terjadinya kemiskinan budaya tersebut. Masyarakat tidak memahami lagi fungsi dan peranan budaya ini di tengah masyarakat termasuk dalam pergaulan interna¬sional. Sehingga, tak heran benda-benda purbakala yang dimiliki Indonesia banyak yang berada di luar negeri yang dibawa oleh para kolektor. Baik dengan cara dicuri, maupun dibeli dengan harga yang cukup menggiurkan. Dan itulah kasus yang sering terjadi di Indonesia. Uang membuat mereka, tak lagi memikirkan dampak kurang baik buat bangsa.
Nilai-nilai atau bukti sejarah satu per satu mungkin akan hilang. Lalu, apa yang bisa dibanggakan lagi menyangkut kegemilangan dan kejayaan Bangsa Indonesia. Kita bisa berkaca dengan Jepang, meski mereka negara maju namun budaya tetap dipertahankan sebagai cirikhas negeri sakura terse¬but. Selain itu terrace (kepercayaan) dalam bidang bisnis, cukup besar diberikan kepada negara yang berbudaya.
Tetapi lain dengan Indonesia, meski negara berkembang tetapi budaya sudah mulai dilacurkan. Jika tak cepat dipikirkan antisi¬pasi, maka niscaya kebesaran Indonesia pada masa lampau hanya tinggal cerita saja dan tak dapat dibuktikan dengan peningga¬lannya. Disebut kemiskinan kultural, adalah budaya yang membuat orang miskin, yang dalam antropologi disebut Koentjaraningrat dengan mentalitas atau kebudayan kemiskinan sebagai adanya budaya miskin. Seperti, masyarakat yang pasrah dengan keadaannya dan menganggap bahwa mereka miskin karena turunan, atau karena dulu orang tuanya atau nenek moyangnya juga miskin, sehingga usahanya untuk maju menjadi kurang. Semakin banyak program-program yang bergerak dalam penanggulangan kemiskinan, namun makin banyak pula jumlah orang miskin. Berbicara tentang kemiskinan kultural, bahwa budayalah yang membuat orang miskin..
Ketika berbicara tentang budaya miskin atau mentalitas kemiskinan, maka dengan konsep manusia yang berdaya melalui penyadaran kritis, bahwa manusia yang berdaya adalah manusia pemberi. Bagaimana orang miskin bisa memberi kalau untuk dirinya sendiri dia tidak punya. Jadi, inti adalah dengan penyadaran-penyadaran dan nilai-nilai luhur. Ada gambaran sekilas tentang adanya kemiskinan kultural di Sumba Barat, akar penyebab kemiskinan yaitu lunturnya nilai-nilai luhur dan olah rasa. Bagaimana peserta melibatkan rasa, dimana ketika ada orang miskin siapa yang peduli, dan bagaimana seharusnya kita terhadap orang miskin tersebut. Bagaimana masyarakat bisa menyadari bahwa mereka miskin karena budaya atau adanya kemiskinan kultural, atau bahwa mereka miskin karena perilaku yang jika dikaitkan dengan budaya tadi adanya perilaku boros dalam masyarakat, atau adanya perilaku gengsi dalam masyarakat. Kalau mereka tidak melakukan pesta secara besar-besaran, maka apa pandangan masyarakat terhadap mereka.
Mentalitas bangsa Indonesia menurut Koenjtoroningrat, yaitu :
1. Meremehkan waktu
2. Suka menerabas
3. Tidak Percaya Diri
4. Tidak disiplin
5. Suka korbankan Tanggung jawab.
Tentang ancaman kemanusiaan, berupa kemiskinan, ledakan penduduk, degradasi lingkungan global yang dampaknya akan dirasakan bangsa Indonesia di abad ke-21. Munculnya fenomena "masyarakat stres", "masyarakat sakit", yang ditandai oleh sakit mental, kekerasan, dan penyalahgunaan obat dan kenakalan remaja. Maka tak heran kalau Soetardji Calzoum Bachri mengajak bangsa kita dengan lantang: "Wahai bangsaku/ Keluarlah engkau dari kamus kehancuran ini/ Cari kata/ Temukan ucapan/ Sebagaimana dulu para pemuda menemukan kata dalam sumpah mereka." Senada dengan Sartono Kartodirdjo yang mengumandangkan tentang pentingnya kesadaran sejarah dalam proses pendidikan bangsa. Dan, Kuntowijoyo mengajukan pentingnya transendensi dan humanisasi untuk melawan politisisasi, sekularisasi, dan komersialisasi budaya. Nilai-nilai ini dipandang ikut membentuk selera, laku, dan bahkan kesadaran kita. Kini nilai-nilai ini terus meresap, menjadi semacam kekuatan budaya yang membentuk bawah-sadar kehidupan manusia modern. Mulai dari cara kita memilih letak rumah, jenis kendaraan, merek busana, tempat hiburan, acara TV, figur anutan, penggunaan uang yang kita peroleh, pemanfaatan waktu luang, hingga cara kita bercinta dan menjalani serta memandang kehidupan sehari-hari. Semuanya tak lain dari adanya konstruksi nilai dan budaya yang membentuk kesadaran kita.
Di tengah kepungan nilai-nilai itu, bangsa kita justru berhadapan dengan masalah besar dan krusial yang menghadang. Persoalan kemiskinan, penyakit (biologis, psikologis, dan sosial), kebodohan, kekerasan, ketidakpedulian (I don't care!), pencemaran lingkungan, masih menjadi persoalan keseharian yang kasat mata yang masih memerlukan tidak hanya pemikiran budaya, tapi juga laku budaya sehar-hari yang lebih mampu membebaskan dan memberdayakan kita dari berbagai krisis sosial, ekonomi, politik yang mengimpit. Laku dan kesadaran budaya yang beberapa di antaranya akan disorot di bawah ini perlu segera dikembangkan untuk melawan kecenderungan laku budaya dominan yang seakan sudah menjadi bagian hidup sehari-hari. Kita sebut saja budaya itu sebagai "10 Sikap dan Kesadaran budaya Negatif" yang harus disingkirkan dengan membangun "10 Sikap dan Kesadaran budaya Positif" yang menjadi budaya alternatif yang harus terus dipupuk di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di tempat ibadah, di jalan-jalan, dan di semua ruang kehidupan sehari-hari.
Pertama, budaya feodal lawan budaya egaliter.
Budaya feodalisme yang menghambat kemajuan harus dilawan dengan sikap dan kesadaran budaya egaliter. Sikap egaliter menempatkan manusia pada posisi setara, tanpa memandang status yang diperoleh karena keturunan, kekayaan, jabatan, pendidikan, suku, ras, atau agama. Sikap hidup yang memandang semua orang sama akan menjadi budaya pendukung nilai-nilai demokrasi dan semangat masyarakat madani. Kita harus mengembangkan pendidikan budaya sejak dini kepada anak-anak agar tumbuh sikap budaya egaliter yang menghargai sesama manusia.
Kedua, budaya instan lawan budaya kerja keras.
budaya instan yang mengganggap bahwa bahagia, kekayaan, sukses, dan prestasi bisa diraih seperti membalik telapak tangan, juga harus dilawan dengan budaya yang memandang bahwa semua itu harus diraih dengan keringat dan air mata. Budaya- budaya yang menggampangkan penyelesaian persoalan dengan cara potong kompas dalam kehidupan sehari-hari mesti dilawan dengan cara-cara yang lebih beradab. Prestasi yang diraih dengan kerja keras harus diberi penghargaan secara layak dan harus diciptakan mekanisme penilaian untuk orang-orang yang meraih prestasi dengan kerja keras. Kita harus menanamkan pendidikan budaya yang memberi pengertian kepada anak-anak agar korupsi, perilaku tidak jujur, komersialisasi jabatan, sampai jual beli gelar aspal, plagiat, atau mencontek adalah contoh budaya instan yang tidak layak diberi tempat dalam masyarakat. Karena kita hanya menghargai orang yang bekerja keras.
Ketiga, budaya kulit lawan budaya isi.
Budaya kulit atau tampilan luar dalam kehidupan memang penting. Untuk menjaga citra diri atau image seseorang, banyak cara yang bisa ditempuh. Ada orang yang memamerkan kekayaan, ada yang menunjukkan kepintaran, ada juga yang unjuk kekuatan dan kekuasaan. Show kemewahan sudah menjadi bagian dari gaya hidup kaum aristokrat sejak dulu. Sekarang banyak orang kaya baru (OKB) yang tidak malu-malu menunjukkan dirinya kaya dan saleh. Untuk itu, orang menggunakan simbol-simbol kesuksesan dan kesalehan dengan berbagai cara. Persoalan muncul kalau orang biasa memakai topeng kulit seperti itu. Pasalnya iklan dan sinetron tak hentinya mengajarkan bahwa budaya kulit lebih hebat dari budaya isi.
Kita ingin menanamkan kepada anak-anak sejak dini bahwa budaya isi, substansi jauh lebih penting dari budaya kulit. Bukan kita iri atau cemburu dengan orang sukses dan kaya. Bukan! Kita ingin agar kekayaan dan kesuksesan mereka lebih bermakna bagi kehidupan banyak orang. Kita merindukan kesejahteraan yang lebih merata. Kita ingin mengetuk kesadaran orang yang gandrung budaya kulit agar mulai menyelami budaya isi, untuk menyelami hakikat kehidupan itu sendiri.
Keempat, budaya penampilan lawan budaya hidup sederhana.
Budaya penampilan, asal kelihatan keren, kece, dan hebat, juga menjadi bagian dari kehidupan kita. Tak banyak orang sekarang yang mau dan berani tampil lebih sederhana dari penghasilannya. Bahkan tak jarang orang sudah menghabiskan penghasilannya sebelum penghasilan itu menjadi haknya. Kita menyebut budaya kredit dan budaya utang kini sudah menjadi bagian dari gaya hidup kita bahkan sudah menjadi darah daging dan daya hidup pemerintah kita (ingat utang luar negeri!).
Kita akan sulit atau mungkin terasing di tengah-tengah tetangga, keluarga atau kolega kalau kita berpenampilan sederhana. Kebersahajaan --sebagai pilihan sikap dan gaya hidup alternatif-- menjadi barang langka atau bahkan semacam kemewahan tak terjangkau di tengah hutan lebat gemerlap gaya hidup. Di kantor, pakaian Anda yang dinilai tidak modis dan stylist akan dikomentari, "Masak dari dulu hanya pakai yang itu-itu." Kamu tidak akan kelihatan sukses dan membanggakan keluarga kalau kamu tidak mengenderai kendaraan terkini. Kamu akan lebih keren kalau kamu memakai HP keluaran mutakhir, model anu dengan penampilan gress. Ongkos penampilanmu akan terus menyedot sakumu.
Setiap hari anak-anak kita dikhotbahi oleh pesan-pesan iklan dan sinetron padat gaya hidup agar mereka memuja budaya penampilan. Di masa depan kita ingin agar anak-anak kita menjadi lebih sederhana dari kita, sekalipun kita tetap berusaha agar mereka jauh lebih sukses dan bahagia dari kita.
Kelima, budaya boros lawan budaya hemat.
budaya kulit atau budaya penampilan jelas telah menjadikan budaya boros begitu telanjang di pelupuk mata. Kita jarang berpikir jangan-jangan perilaku dan gaya hidup serbaboros sudah mendarah daging dalam kehidupan kita. Cobalah simak di kantor, di jalan, atau di rumah kita. Bagaimana kita menggunakan listrik, air, atau pulsa telefon (khususnya HP). Kalau dulu orang tua memberi anak uang bisa ditabung atau dibelikan emas. Sekarang begitu banyak orang tua yang menganggarkan uang pulsa bulanan buat si buah hatinya. Di zaman teknologi komunikasi serbacanggih, budaya ngerumpi dan omongan remeh-temeh bisa menghamburkan uang ratusan ribu bahkan jutaan perbulan.
Mulai sekarang kita harus menanamkan kesadaran di kalangan anak muda bahwa budaya hemat adalah bagian dari perilaku hidup sehat dan beradab yang harus dikembangkan. Kepada generasi muda, misalnya, perlu kita sebarkan ungkapan, "Save water and electricity!" atau "Hemat air dan listrik demi generasi mendatang!". Bila perlu harus kita pasang di pintu-pintu rumah kita. Kita harus berpikir bahwa masih banyak orang yang belum memperoleh penerangan yang layak dan air bersih yang wajar sebagaimana yang kita nikmati. Masih banyak bencana kekeringan dan kelaparan yang menyebabkan nestapa kemanusiaan. Kita ingin budaya hidup hemat menjadi pesan kemanusiaan yang bermakna bagi generasi mendatang. Seruan lirih Mahatma Gandhi terdengar pas, "Earth provides enough for everyone's need, but not for everyman's greed."
Keenam, budaya apati lawan budaya empati.
Dengan kesadaran demikian pula kita ingin membuat sikap masa bodoh atau apati yang membuat kita menutup mata terhadap persoalan di sekitar kita segera diganti oleh tumbuhnya generasi yang berkesadaran empatik. budaya empatik menumbuhkan kepedulian dan kesadaran untuk mendengar terhadap keluhan orang lain atau penderitaan sesama. Generasi empatik adalah generasi yang bisa hidup dalam semangat untuk memberi kepada yang tidak mampu dan menyuarakan persoalan publik serta membebaskan yang tertindas. Kita ingin menumbuhkan budaya empati justru di tengah-tengah sikap masa bodoh atau ketidakpedulian yang sering mewarnai budaya kita sehari-hari.
Ketujuh, budaya konsumtif lawan budaya produktif.
Budaya yang hanya bisa memakai, menghabiskan waktu dan uang yang tak bermanfaat, harus dilawan dengan budaya yang lebih memberikan hal-hal yang bermanfaat dalam kehidupan. Kalau sekarang kita hanya menjadi masyarakat pemakai (pemakai barang produk luar negeri, konsumen pemikiran, dan gaya hidup asing), di masa depan konstruksi budaya yang paling berat dan krusial adalah bagaimana membuat bangsa ini menjadi bangsa yang menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan dan kemanusiaan. Tantangan pendidikan kita adalah bagaimana menjadikan generasi konsumtif berubah menjadi generasi produktif. Generasi yang tidak hanya menjadi pengguna atau konsumen, tapi menjadi produsen bagi bangsanya bahkan bagi luar negeri. Ini tidak boleh tidak memerlukan semacam revolusi kesadaran yang menuntut pendidikan sumber daya manusia yang sistematis dan terprogram.
Kedelapan budaya bersih lawan budaya sampah.
Sampah akan menjadi persoalan urban yang pelik kalau kita tidak mencari solusi yang lebih terpadu dalam pembangunan dan penataan kota di masa depan. Kita sekarang hidup dalam "masyarakat serba membuang"; beli, pakai sekali, setelah itu buang. Untuk itu kita harus menanamkan budaya bersih sejak dini dalam lingkungan keluarga, tetangga, masyarakat luas, terutama di pasar dan pertokoan, perkantoran, terminal, stasiun, pelabuhan dan lapangan terbang, jalan-jalan dan fasilitas umum harus memperhatikan masalah penanganan sampah secara serius. Budaya membuang sampah sembarangan harus mendapatkan ganjaran yang keras kalau perlu jerat hukum. Dan, kebiasaan membuang sampah pada tempat yang disediakan secara khusus sudah harus ditanamkan sejak dini hingga di masa kanak-kanak, di ruang keluarga Indonesia. Ingatlah sampah akan menjadi ancaman serius karena bukankah setiap orang menghasilkan sampah?


Kesembilan, budaya antre lawan budaya terabas.
Kebiasaan antre juga harus dikampanyekan dan dimasyarakatkan di tempat-tempat milik publik. Kita harus menjadi bangsa yang beradab, jangan asal terabas. Budaya terabas menyebabkan munculnya korupsi dan membuat kita tidak sabaran di jalan. Budaya antre menghargai keteraturan yang tidak dipaksakan, tapi tumbuh dari kesadaran penghargaan terhadap orang lain. Kita hanya mendahulukan orang tua, orang sakit, atau orang hamil. Kita harus mempraktikkan kepada anak-anak sejak dini tentang pentingnya budaya antre dalam masyarakat sibuk seperti sekarang ini.
Kesepuluh, budaya antre lawan budaya terabas.
Kita perlu berkompetisi, asal kompetisi itu sehat dan fair, karena kita ingin yang terbaiklah yang muncul sebagai pemimpin atau pemenang. Kita harus menanamkan budaya menerima kekalahan secara fair dan menghargai prestasi orang lain agar kehidupan berjalan sehat. Ini baik dalam pendidikan, juga dalam demokrasi. Kalau kita sulit membangun budaya kompetisi, kita harus mulai berpikir bagaimana membangun budaya kerja sama.





DAFTAR PUSTAKA :
www.Kemiskinan Kultural dan FGD-RK__.html
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1205/17/khazanah/lainnya01.html.
www. Batam Pos Gerbang Informasi Kota Batam - Kepri - Masih Adakah Kemiskinan di Kepri.html Eva Amalia SH MSi, LEAD Fellow Indonesia, Cohort XI, Alumni Pascasarjana Sosiologi, Konsentrasi Kebijakan dan Kesejahteraan Sosial, UGM.
http://www.beritabuku2.html.co.id,(Hendri/bambang/rifky/lenggo/syawaldi)
Pendekatan Pekerjaan Sosial Dalam Menangani Kemiskinan Di Tanah Air Edi Suharti.
Dra. Asri Laksmi Riani, MS.dkk. 2005. Dasar-Dasar Kewirausahaan. Surakarta : UNS Press.

Created by :
meida_suswandari Sos_ant

Kemiskinan Subyektif

KEMISKINAN SUBYEKTIF

PENGERTIAN
Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Joseph F. Stepanek).
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
Lingkungan inti yang mempengaruhi kemiskinan subyektif meliputi kesehatan, kekayaan, pengetahuan, alam, sosial, ekonomi, politik, sarana prasarana dan pelayanan.
CIRI / KARAKTERISTIK
keadaan serba kekurangan,
bahkan pada derajat tertentu hanya tergantung pada orang lain,
selalu pasrah pada kondisi dan keadaan yang ada,
serta tidak dapat memenuhi standar
CONTOH
Secara obyektif, tidak kekurangan suatu apa, tetapi dalam perasaannya ia selalu saja merasa kurang. Kemiskinan kategori pertama, kemiskinan obyektif ”(kelaparan)”. Kemiskinan kategori kedua, kemiskinan subyektif disebut dengan “(keserakahan)”.
CARA MENGUKUR
 Infrastruktur dan Pelayanan: daerah masih terisolir
 Kesehatan: persediaan air bersih
 Ekonomi : Penghasilan digunakan untuk minuman keras, berjudi, dan pelacuran.
 Pengetahuan: Tingkat pendidikan rendah.
 Lingkungan Alam: Luas dan kualitas hutan tidak dimanfaatkan sebaik mungkin.
 Lingkungan Sosial: Solidaritas untuk kegiatan gotong-royong menurun.
DAMPAK / AKIBAT
Pendapatan berkurang, Menurunnya standar dan kualitas hidup, Kurang gizi, Tidak mampu menyekolahkan anak, Banyak pengangguran dan kriminaliotas, Kurangnya lapangan pekerjaan, Meningkatnya angka kematian, khususnya pada ibu dan anak, Bersifat indvidualitas, gotong royong (gemainscaft) menurun.
SOLUSI
Mengontrol nafsu keserakahan jangan sampai mendestruksi kehidupan sosial dan keseimbangan alam.
kesadaran akan tanggungjawab spiritual dan kemanusiaannya agama-agama untuk menyingkirkan musuh utama spiritualitas dan kemanusiaan, yaitu: kemiskinan.

SOLUSI LAINNYA adalah :
Meningkatkan infrastruktur dan pelayanan
Meningkatkan pelayanan penyuluhan (hutan kemasyarakatan, pertanian, manufaktur).
Memberi lebih banyak kegiatan pengembangan kapasitas (misalnya, kursus pelatihan) bagi masyarakat.
Meningkatkan jumlah dan kualitas petugas dan fasilitas kesehatan.

Mempertahankan sistem subsidi
Melanjutkan program Askes Gakin untuk warga miskin.
Melanjutkan program beras subsidi (Raskin).
Meningkatkan lingkungan alam
Membuat dan menegakkan kerangka hukum untuk pemanfaatan sumber daya hutan yang berkelanjutan, termasuk sumber daya alam dan pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat.
Menetapkan insentif bagi upaya reboisasi.

Meningkatkan lingkungan ekonomi
Menciptakan lingkungan pendukung yang stabil untuk pembangunan ekonomi.
Menentukan upah minimum bagi karyawan perusahaan untuk mengatasi jerat utang.
Mendukung usaha kecil menengah (misalnya, melalui layanan bantuan perintisan termasuk pengurangan pajak)

Meningkatkan lingkungan sosial
 Mengidentifikasi dan berkomunikasi dengan kelompok sosial yang sesuai.
 Mendorong kerukunan sosial.
 Mendorong kolaborasi antara kelompok kepentingan setempat.

Meningkatkan lingkungan politik
Memberdayakan kampung dan kelompok yang rentan atau marginal melalui partisipasi yang lebih besar.
Membangun komunikasi dua arah yang tulus dengan warga miskin.


PRESENTED BY : meida_suswandari

RPP = faktor pendorong interaksi sosial

RENCANA PERSIAPAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Satuan Pendidikan : Sekolah Menengah Atas
Mata Pelajaran : Sosiologi
Kelas/Program/Semester : XI / IPS / I
Pokok Bahasan : Interaksi Sosial
Sub Pokok Bahasan : Faktor-Faktor Pendorong Interaksi Sosial
Alokasi waktu : 1 x 40 menit

I. STANDAR KOMPETENSI
Menganalisis nilai dan norma dalam membentuk keteraturan hidup bermasyarakat.
II. KOMPETENSI DASAR
Menganalisis interaksi sosial sebagai dasar pembentukan pola keteraturan dan dinamika sosial budaya.
III. INDIKATOR
Mendeskripsikan faktor-faktor yang mendorong terjadinya interaksi sosial.
IV. TUJUAN PEMBELAJARAN
Siswa dapat mendeskripsikan faktor-faktor yang mendorong terjadinya interaksi sosial.
V. MATERI PEMBELAJARAN
Dalam proses terjadinya interaksi sosial didasari oleh 5 faktor pendorong, yaitu:
a) Imitasi
Contoh : seorang murid yang meniru salah seorang guru yang memiliki kekhasan tertentu dalam gaya bicara.
Pembahasan : Melakukan tindakan yang sama persis yang dilakukan oleh orang lain, baik dalam bentuk gaya bicara, tingkah laku, adat dan kebiasaan, serta pola pikir. Perbuatan yang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti
Definisi : Suatu tindakan meniru orang lain.
b) Sugesti
Contoh : orang tertarik membeli kosmetik merek tertentu setelah tergiur menyaksikan iklan yang menarik perhatiannya.
Pembahasan : orang akan memberi pandangan atau reaksi atas sesuatu yang dilihatnya menarik perhatian bahkan terkadang tidak dipikirkan secara rasional.
Definisi : pengaruh batin atau emosional seseorang yang kuat dari pihak lain, sehingga kita tergerak mengikuti ajakan orang tersebut.
c) Identifikasi
Contoh : Andi sangat mengidolakan seorang pemain sepak bola Ronaldo, diapun memotong rambutnya model potongan rambut Ronaldo, melakukan aktivitas atau kegemaran yang sama dari Ronaldo, dan kepribadian lain dari Ronaldo.
Pembahasan : proses peniruan (imitasi) seseorang terhadap orang lain secara mendalam hingga pada kepribadiannnya.
Definisi : kecenderungan untuk berperilaku sama dengan pihak lain yang menjadi idolanya.
d) Simpati
Contoh : remaja yang jatuh cinta karena simpati.
Pembahasan : Orang akan merasa dirinya seolah-olah berada dalam keadaan orang lain karena ketertarikan tertentu.
Definisi : Rasa tertarik yang kuat terhadap pihak lain.
e) Empati
Contoh : kita ikut-ikutan menangis karena melihat korban tsunami di Aceh.
Pembahasan : rasa simpati yang sifatnya ikut merasakan yang dirasakan oleh orang lain.
Definisi : simpati yang mendalam dan dapat mempengaruhi kejiwaan serta fisik seseorang.

VI. METODE PEMBELAJARAN
Metode yang digunakan berupa ceramah, studi kasus, dan brainstorming (sumbang saran).
VII. KEGIATAN PEMBELAJARAN
A. Kegiatan Awal (pembuka) : 5 menit.
Guru memberikan salam pembuka kemudian mengecek kehadiran siswa (presensi) siswa. Setelah itu, guru menampilkan dalam bentuk audiovisual (film dokumenter) mengenai situasi dan kondisi yang ada di Aceh pasca tsunami.
B. Kegiatan Inti (pemberian materi) : 25 menit.
Guru bersama-sama siswa menggunakan metode brain-storming (sumbang saran/curah pendapat) mengenai film tersebut. Peran guru adalah mengarahkan agar siswa aktif untuk menganalisa fenomena dalam film yang diputar. Peran siswa adalah saling bertukar pikiran atau beropini secara aktif. Hal ini juga tidak terlepas dari model pembelajaran dengan konsep memberikan contoh atau fenomena sosial terlebih dahulu, mengadakan analisa, lalu memberikan kesimpulan dalam bentuk definisi.
Antara siswa yang satu dengan siswa yang lain harus saling interaktif. Guru tidak mendominasi situasi kelas, sehingga apapun yang dikemukakan siswa, dianalisa bersama dengan tidak keluar dari konteks buku acuan ataupun materi yang sedang dipelajari. Contoh dari film dokumeter di atas dengan menampilkan sebuah contoh, kemudian guru mengarahkan siswa dalam sumbang saran, bisa dimulai dengan bagaimana perasaanmu setelah menyaksikan situasi dan kondisi Aceh pasca tsunami?. Dari sinilah, siswa dituntut aktif mengeluarkan opini mereka. Mungkin saja ada siswa yang mengatakan = perasaan sedih, saya ingin menangis, kasihan mereka dan lainnya. Dari jawaban siswa tersebut bersama dengan guru melakukan analisa bahwa contoh di atas merupakan kondisi emosional manusia satu terhadap manusia lain berupa perasaan (kejiwaan) untuk ikut merasakan penderitaan yang dialami manusia klain tersebut. Maka, guru menggeneralisasikan dengan menyebutkan istilah empati kemudian membuat definisi tentang empati.
Guru menambahkan bahwa sifat empati ini, merupakan salah satu proses psikologis seseorang terhadap orang lain dalam melakukan interaksi sosial dan dalam hal ini disebut juga faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi sosial. Kemudian guru memberikan faktor pendorong interaksi sosial yang lain, seperti imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati dengan memberi studi kasus secara lisan dan tidak lagi menampilkan film yang berkenaan dengan faktor-faktor pendorong lain dari interaksi sosial. Adapun metode pembelajarannya sama, dari memberikan contoh dalam bentuk studi kasus, menganalisa dan memberikan definisi. Setelah itu, guru memberikan kesimpulan dari materi faktor-faktor yang mendorong terjadinya interaksi sosial.
C. Kegiatan Akhir (penutup) : 10 menit.
Guru menawarkan atau memberikan kesempatan bertanya kepada siswa mengenai materi yang belum jelas. Jika tidak ada, guru memberikan umpan balik (pertanyaan) secara singkat pada siswa untuk mengetahui keefektifan dan keseriusan siswa dalam mengikuti pelajaran. Kemudian, guru memberikan tugas atau pekerjaan rumah secara individual (terlampir). Sebagai penutup, guru memberikan gambaran secara singkat mengenai materi yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya. Kemudian diakhiri dengan salam penutup.
VIII. SUMBER DAN ALAT PEMBELAJARAN
Sumber : Kun Maryati dan Juju Suryawati. Buku SMA Sosiologi kelas XI model KTSP. 2007. Jakarta : Erlangga.
Film dokumenter tentang stunami di Aceh.
Alat : Seperangkat LCD dan Laptop untuk pemutaran film serta alat tulis (spidol dan white board).
IX. EVALUASI
Mengadakan penilaian atau evalusi pada siswa dengna menggunakan penilaian:
1. Guru melihat keaktifan siswa dalam melakukan sumbang saran di kelas (aspek kognitif). Sikap dan tingkah laku yang tidak mengganggu keberlangsungan proses belajar mengajar (aspek afektif).
2. Guru memberikan tugas individu secara mandiri.
LAMPIRAN
Soal : Tugas Individu.
Buatlah kliping dari koran, majalah, internet berupa contoh-contoh lain mengenai faktor-faktor pendorong terjadinya interaksi sosial di suatu masyarakat. Minimal 2 contoh dari setiap faktor tersebut !.


Created by :
meida_suswandari Sos_ant