Selasa, 10 Februari 2009

Dialek Banyumasan dan perkembangannya

Pendidikan merupakan faktor penting yang dijalani oleh setiap orang untuk menuju peran dan status yang lebih baik. Karena pendidikan merupakan proses transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, ketrampilan dan aspek lain kepada generasi muda. Tujuan untuk menempuh jenjang pendidikan sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan proses kemajuan hidup seseorang serta memberikan kontribusi yang besar bagi keberlangsungan kehidupan bangsa untuk tidak terjajah kembali. Dengan pendidikan juga akan membelajarkan lebih banyak pengetahuan yang sebelumnya belum pernah kita ketahui menjadi tahu dan paham. Oleh karena itu, orang berlomba-lomba menuntut ilmu yang setinggi-tingginya meski harus berada di luar daerah tempat tinggalnya. Seperti kata pepatah, mencari ilmu meski sampai ke negeri Cina.
Seseorang yang belajar dengan menempuh pendidikan hingga ke luar daerah tempat tinggalnya, menjadi tantangan tersendiri bagi mereka. Selain belajar untuk mencari ilmu yang bersifat akademik, namun mereka dituntut untuk beradaptasi dengan budaya dan kehidupan sosial dimana dirinya berada. Adaptasi dapat berupa penyesuaian diri dengan kebiasaan masyarakat setempat dengan harapan dapat diterima dan sesuai dengan aturan serta norma yang berlaku di daerah tersebut. Bahkan untuk mendalami lebih jauh tentang nilai, sikap, budaya dan kehidupan sosial dalam suatu masyarakat yang didatanginya, mengharuskan mereka untuk belajar bahasa setempat. Hal ini bertujuan untuk lebih mudah memahami dan mampu berbaur secara cepat dengan masyarakat setempat.
Mempelajari bahasa setempat merupakan salah satu unsur pendukung berjalannya proses komunikasi atau penyampaian pesan, baik antara seorang individu dengan individu lainnya ataupun antara individu dengan sekelompok masyarakat. Disisi lain bahasa menjadi salah satu kekuatan bangsa dari suku bangsa yang besar dengan berjuta-juta penduduk yang akan melahirkan variasi tentang perbedaan daerah secara geografi maupun kehidupan sosial budaya yang beragam pula.
Dalam bahasa daerah khususnya bahasa Jawa terdapat perbedaaan logat atau dalam hal pengucapan oleh para penuturnya, yang biasa disebut dengan dialek (dialect). Pengucapan dialek bahasa jawa yang diucapkan orang Jawa seperti Purwokerto (Banyumas), Tegal, Surakarta, atau Surabaya memiliki ciri khas masing-masing.
Terkait dengan penelitian ini, fenomena yang akan diamati adalah penutur dialek Banyumasan yaitu para mahasiswa yang berasal dari Jawa Banyumasan dengan tujuan belajar di kota Surakarta yang mengalami degradasi dalam berdialek banyumasan. Degradasi tersebut tidak terlepas dari pengaruh kehidupan sosial dan budaya yang berbeda-beda yang dapat ditemui di lingkungan kampus yang akan melahirkan variasi kebudayaan yang berbeda pula.
Degradasi yang terjadi pada dialek banyumasan oleh para mahasiswa asli Banyumasan adalah berupa penggunaan bahasa yang semakin bervariasi dan secara tidak utuh menggunakan bahasa ibu mereka. Hal ini terlihat dengan adanya penggunaan dialek Banyumasan dengan bahasa campuran seperti menyisipi kata-kata atau istilah asing atau bahasa lain yang dianggapnya lebih gaul serta ada pula yang sama sekali menghilangkan bahasa asal dengan beralih bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dan bahasa yang lebih mudah dipahami pada saat berbicara dengan lawan bicaranya yang beraneka ragam budaya.
Gambaran secara langsung penulis rasakan ketika suatu saat berbincang dengan kakak tingkat di kampus. Sudah banyak bercakap-cakap, dia sangat fasih bercakap dengan bahasa Indonesia. Setelah diketahui dari pertanyaan asal mula dari mana dia berasal, ternyata dia bukan asli anak Jakarta dan sekitarnya, akan tetapi asli dari Banyumas. Namun, dialek banyumasan sudah tidak lagi tampak.
Dari fenomena tersebut, mengidentifikasikan faktor penutur dari generasi muda dengan dipengaruhi faktor lingkungan seperti faktor geografis, faktor sosial dan faktor budaya yang menjadikan dialek banyumasan mengalami pergeseran. Selain itu, perasaan gengsi atau karena tidak mau dianggap sebagai orang tidak modern, yang kemudian menjadikan para mahasiswa semakin beralih bahasa sehari-hari dengan bahasa yang tidak secara utuh berdialek banyumasan.
Kita harus menyadari, bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku bangsa yang akan menimbulkan konsekuensi banyaknya bahasa daerah yang digunakan oleh masing-masing suku bangsa tersebut, maka. sangat penting bahasa daerah perlu terus dibina dan dilestarikan. Dalam rangka mengembangkan serta memperkaya perbendaharaan bahasa dan khasanah kebudayaan nasional sebagai salah satu unsur kepribadian bangsa, bahasa daerah menjadi salah satu ungkapan budaya masyarakat yang mendukung kebhinekaan budaya sebagai kreativitas dan sumber kekuatan bangsa.
Salah satu wujud kreativitas dalam melestarikan bahasa daerah khususnya bahasa jawa dengan dialek banyumasan adalah adanya komunitas mahasiswa yang asli Banyumasan, yaitu seperti Kepamba yang merupakan secara umum bagi mahasiswa asli se-eks karisidenan Banyumasan (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen), Kecap (mahasiswa yang hanya berasal dari Cilacap), Kluban (kelompok mahasiswa Banyumas), Fosimba (forum komunikasi mahasiswa Banjarnegara), dan Amarangga (Forum komunikasi mahasiswa Purbalingga).
Sedangkan, penutur dialek banyumasan berjumlah 12 juta sampai 15 juta penduduk. Dialek banyumasan yang memiliki karakter vokal dominan "a" itu lahir lebih dahulu dibandingkan bahasa "wetan" (keratonan), yang karakter vokal dominan "o" (www.wikipedia.com). Menurut Achmad Tohari seiring perkembangan zaman, jumlah penutur dialek banyumasan secara berangsur-angsur terancam karena semakin sedikitnya penutur yang secara utuh berdialek banyumasan. Hal ini dikarenakan, masyarakat Banyumasan ada yang menganggap rendah dan malu menggunakan bahasanya sendiri dan lebih memilih menggunakan bahasa daerah lain, seperti Solo dan Yogyakarta yang dianggap lebih halus dan berperadaban.
Dialek banyumasan yang mengalami degradasi oleh para penuturnya, tidak terlepas dari proses konstruksi budaya yang dilabelkan oleh masyarakat luar Banyumasan. Mereka menganggap dalam pengucapan atau logat pada dialek Banyumasan memiliki karakteristik yang berbeda dari yang lain karena kadang dianggap sebagai bahasa yang kasar dan tidak memiliki unggah-ungguh (sopan santun). Hal inilah yang mengidentikkan dialek banyumasan sebagai bahasa pelawak (guyonan) dan bahasa kaum lapisan bawah (rakyat jelata).
Contoh sebuah kasus dalam dunia hiburan, dimana dialek dijadikan peluang yang besar bagi para komedian untuk menjual kepamorannya dengan beberapa kekhasan tertentu dengan menggunakan dialek tertentu pula. Dan secara tidak sengaja menimbulkan identitas yang melekat pada seseorang dikarenakan menggunakan dialek yang khas. Sebagai contoh Cici Tegal, meski dirinya bukan asli dari Tegal, tetapi masyarakat memberikan icon atau identitas seorang komedian dengan logat khas Tegalnya yang menjadikan penonton atau orang yang mendengar pada saat dia melakon menjadi bahan tertawaan. Komedian yang serupa juga terjadi pada aktor komedian Kadir dan Doyok dengan logat Madura, serta Parto dengan dialek banyumasan.
Meski memunculkan identitas tertentu, secara tidak langsung terjadi proses stereotip atau label sosial. Proses stereotip atau label sosial ini, dibentuk atau dikontrusikan oleh masyarakat yang berada di luar komunitas atau penutur suatu dialek, yang kemudian akan memberikan label tertentu dari suatu dialek. Hal yang terjadi dalam pelabelan tentang dialek Banyumasan, yang oleh masyarakat luar Banyumas memberikan label atau penyebutan dengan bahasa “ngapak”.
Anggapan lucu dialek banyumasan atau bahasa ngapak oleh orang luar inilah yang kemudian menimbulkan perasaan malu serta menganggap rendah budaya sendiri sebab bahasanya dinilai kasar dan menjadi bahan tertawaan. Stereotip semacam ini yang kemudian berkembang di luar Banyumas. Pada akhirnya dialek Banyumasan mengalami degradasi oleh para penutur aslinya.

Tidak ada komentar: