Selasa, 10 Februari 2009

Budaya, bahasa dan dialek Banyumasan

Soerjono Soekanto, (2003: 176 ) menyatakan “di dalam kebudayaan terdapat unsur-unsur pokok (besar) atau cultural universal : peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan religi”.


Salah satu dari ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah bahasa. Definisi tentang bahasa bukan saja ciri khas dari suatu masyarakat tertentu, tetapi lebih daripada itu. Pandangan Linda Thomas dan Shan Wareig ( 2007 : 9 ) mengamsusikan bahwa “bahasa untuk mengatakan apa yang menjadi maksud kita”.
Peran daripada bahasa adalah terkait dalam sistem nilai yang bercorak kebangsaan yang tercermin melalui kekuatan atau daya rekat yang dimiliki bahasa untuk mempersatukan berbagai kelompok masyarakat yang latar belakang etnis, budaya, dan bahasanya berbeda-beda menjadi satu kesatuan masyarakat. Haugen berpendapat bahwa “bahasa manusia akan berubah apabila para penutur secara geografis terpisah dari kelompok induk. Sebalikya selama para penutur tinggal di satu tempat, mereka cenderung mempertahankan bahasa yang sama” (Herudjati, 2004 : 5).
Bahasa dapat dipelajari sebagai suatu sistem yang berdiri sendiri, tetapi menganalisis dengan cara demikian tidak akan memberikan gambaran yang lengkap mengenai bahasa karena bahasa terdiri dari sistem makna dan fungsi yang mengikatnya dengan hal-hal yang berada di luar bahasa, yaitu konteks sosial budaya. Dari pemakai bahasa, malah aspek makna dan fungsi bahasalah yang lebih penting. Untuk memenuhi kebutuhannya yang beranekaragam, seseorang berkomunikasi dengan orang lain biasanya dengan memakai bahasa sebagai alat utamanya. Menurut Halliday dan Pike (1982 :103), “dalam berkomunikasi seorang penutur bahasa yang telah dewasa akan memusatkan perhatiannya pada cara dan alat yang paling tepat, dengan mempertimbangkan situasi berbicara (konteks sosial budaya) dalam menyampaikan maksudnya (makna), tanpa harus berpikir lagi tentang aturan-aturan tata bahasa yang harus diterapkannya”. Artinya, cara dan alat yang paling tepat untuk menyampaikan maksud ditentukan oleh aturan-aturan yang berlaku di masyarakat dan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
Terkait dengan kajian bahasa, muncul perbedaaan logat atau yang biasa disebut dengan dialek. Menurut Budiono (2008 : 6-7), banyak yang berpendapat bahwa dialek banyumasan adalah bahasa yang lebih tua daripada bahasa jawa yang berkembang saat ini. Dialek banyumasan adalah bahasa jawa dari tahap awal yang disebut bahasa jawa dwipa atau bahasa dari orang yang tinggal di Pulau Jawa, yang konon adalah bahasa jawa murni (pure javaness Language). Sedangkan pengguna atau penutur dialek banyumasan biasa disebut dengan wong banyumasan yang lebih tepatnya disebut sebagai komunitas jawa banyumasan, dimana mereka mendiami wilayah bagian Barat Daya Jawa Tengah. Secara historis, etnologis, sosiologis, kultural dan formal disebut wilayah Barlingmascakeb, yang meliputi daerah Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen.
Karena dalam hal perbedaan logat atau dialek dalam penuturannya, oleh komunitas jawa lainnya disebut bahasa jawa ngapak. Disebut ngapak karena pengucapan vokal a dan o, konsonan b, d, k, g, h, y, l, dan w sangat mantap (luged), tegas, lugas, tidak mengambang (ampang) atau setengah-setengah, seperti yang diajarkan di sekolah formal yang disebut sebagai bahasa jawa baku.
Adapun ciri utama bahasa ibu wong banyumasan menurut Budiono (2008 : 20) yaitu jika mereka berbicara terlihat cowag (keras nada suaranya), gemluthuk (bergelutuk artinya kalau berbincang-bincang seperti saling tergesa-gesa atau cepat menanggapi), logatnya kenthel, luged, mbleketaket (kental, mengasyikkan, sedap di dengar oleh sesama asal daerahnya), dan cara bicaranya tentu mulutnya mecucu (maju kedepan).
Dialek Banyumasan dengan ciri khas tersebut, oleh penuturnya saling terjadi kontak bahasa. Secara teoritits terdapat tiga kemungkinan yang terjadi dalam kontak dua bahasa di masyarakat. Kemungkinan pertama adalah dua bahasa itu membaur atau menyatu sehingga lahirlah bahasa baru yang biasa disebut pijin. Kemungkinan kedua adalah bahasa lama “kalah” dan di geser oleh bahasa yang datang kemudian ke masyarakat itu. Kemungkinan ketiga adalah bahasa lama dan bahasa baru hidup berdampingan dalam arti kedua-duanya dipakai oleh masyarakat yang bersangkutan. Secara sadar atau tidak, bahasa lama tetap dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan. Inilah yang disebut pemertahanan bahasa. Implementasi dalam pemertahanan bahasa terlihat dari tingkah seperti memilih bahasa itu dalam berbagai ranah sosial, ikut memperjuangkan kodifikasi bahasa itu atau ikut mengoreksi kesalahan bentuk bahasa yang dipakai orang lain.
Dialek banyumasan memiliki kekhasan tertentu dalam pelafalan maupun logat, akan tetapi semakin tergesernya penggunaan dialek banyumasan oleh para penutur aslinya. Hal ini disebabkanoleh gaya hidup baru yang dikembangkan berupa penampilan fisik dan pandangan yang berkecenderungan untuk melepaskan diri dari belenggu tradisi atau pun dari pola-pola di dalam hubungan sosial dan kontak bahasa dalam masyarakat. Selain itu, banyak orangtua dari kelompok usia menengah dan muda sudah tidak mengenalkan bahasa jawa kepada anak-anak mereka dalam kehidupan sehari-hari, yang pada akhirnya menjadi penutur bahasa jawa yang pasif.
Seperti halnya dalam penelitian Sarwono Soeprapto, “bahasa jawa mempunyai kedudukan sebagai bahasa pertama bagi sebagian besar anak-anak masyarakat bangsa Jawa, yang perlu ditinjau ulang”. Hal ini merujuk pada kenyataan bahwa modernisasi menjalar kemana-mana sampai ke pelosok-pelosok desa. Sarana transportasi, penerangan maupun alat komunikasi sudah merata dan bisa dinikmati oleh masyarakat kota maupun pedesaan. Sehingga perbedaan antara masyarakat perkotaan dan pedesaan hampir tidak ada. Akibat dari keadaan ini bahasa jawa sebagai bahasa pertama, terutama bagi anak-anak sudah tidak murni lagi. Boleh dikatakan telah berbaur dan menggeser dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Berbeda dengan adanya kecenderungan di kalangan masyarakat yang menjunjung tinggi falsafah jawa. Menurut Mulder (1983 : 159) menyatakan bahwa “menjadi orang jawa (njawa) berarti menjadi manusia berbudaya dan manusia beradab yang mengetahui tempat dimana dan bagaimana seharusnya bertingkah laku tertentu dan atau mengetahui tatanan” (Kongres Bahasa Jawa, 2001 : 39).
Pergeseran penggunaan bahasa Jawa yang diamati oleh Dede Oetomo mengatakan bahwa terjadinya pergeseran bahasa kota-kota di Jawa yang terjadi pada keluarga muda yang mobilitas vertikal menuju kelompok masyarakat yang lebih mapan kehidupan sosial ekonominya untuk mulai meninggalkan bahasa daerah kebahasa Indonesia. ”Gejala pergeseran bahasa, dapat diamati dari pasangan muda yang baru menikah. Mereka yang sejak berpacaran senantiasa berbahasa jawa satu sama lain, setelah menikah dan punya anak, mengasuh anaknya dalam bahasa Indonesia. Maka antara suami dan isteri pun bergeser ke bahasa Indonesia, sapaan berubah menjadi papa dan mama” (Dede Oetomo, 1989:18).
Selain itu, jika ditinjau dari sudut sosiologi dan antropologi, kuatnya arus globalisasi yang melahirkan budaya kosmopolitan yang akan melahirkan bentuk kebudayaan yang identitas pokok dan utama dari pribadi-pribadi itu semakin tertanggalkan. Dan mereka akan kehilangan jati diri yang asli (Budi Darma, dalam kongres Bahasa Jawa III 2001:43).
2. Identitas Dialek Banyumasan Sebagai Sebuah Konstruksi Budaya
Dialek menunjukan bagaimana orang berbicara terkait dengan identitas yang dimilikinya. Dialek juga sebagai proses awal pembentukan terbentuknya masyarakat untuk saling berkomunikasi satu sama lain dengan bahasa ibu yang mereka sepakati bersama. Hal ini dijelaskan oleh Elaine Chaika (1994 : 270) “dialect studies show that how one speaks is inextricably bound up with one’s identity. Who one is, how one may be treated, and how one may treat other are all proclaimed in one’s speech. In earlier times, in stable societies, people in a community knew one another and knew where everyone belonged on the social scale”. Artinya, studi tentang dialek menunjukan bagaimana seseorang berbicara
Menurut Giddens definisi identitas adalah “apa yang kita pikirkan tentang diri sebagai pribadi bukanlah kumpulan sifat-sifat yang kita miliki, ataupun benda yang kita tunjuk” (Chris Barker, 2006 : 171). Identitas merupakan salah satu cara berpikir tentang diri kita yang berubah dari satu situasi ke situasi yan lain menurut ruang dan waktu. Seperti halnya pendapat Joanna Thornborrow dalam Linda Thomas dan Shan Wareig (2006 : 224), “identitas yaitu siapa diri kita, bagaimana cara kita memandang diri kita sendiri, bagaimana cara orang lain memandang diri kita, tidak semata ditentukan oleh dari kalangan mana kita dilahirkan dan dibesarkan atau dari mana kita termasuk”.
Giddens menambahkan bahwa identitas yang kita ciptakan membangun apa yang kita pikir tentang diri kita dari situasi masa lalu dan masa kini dan dengan apa yang sedang kita inginkan untuk masa yang akan datang. Proses ini disebut dengan proyek. Proyek identitas ini tergantung pada situasi dimana kita menerjemahkan budaya dalam konteks budaya tertentu. Giddens memberikan pengertian tentang “proyek identitas adalah gagasan identitas yang bersifat tidak tetap melainkan diciptakan dan dibentuk, selalu dalam proses, dalam suatu gerak maju ketimbang sebagai seorang pendatang” (Chris Barker, 2006 : 138)
Bagi Giddens, “identitas juga dianalogikan sebagai isu agensi (individu mengkonstruksikan suatu proyeksi) dan sebagai determinasi sosial (proyeksi kita dikonstruksikan secara sosial dan identitas sosial melekat pada kita)” (Chris Barker, 2006 : 186-188). Pengertian tersebut memiliki arti bahwa identitas dibentuk dengan adanya individu yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor dalam diri individu tersebut, namun lingkungan atau kehidupan sosial budaya yang mengkonstruksikan hal demikian.
Konsep agensi diistilahkan oleh Giddens dengan kebebasan, kehendak bebas, kreativitas dan orisinalitas. Agensi ini diproduksi secara sosial dan sumber daya sosial yang beraneka ragam, kemudian menimbulkan kemampuan bertindak pada ruang tertentu dengan berdasar atas pilihan dan determinasi sosial.
Adapun pilihan dan determinasi dalam menciptakan identitas adalah : (1) dengan membandingkan hasil dari tindakan kita di masa lalu dengan membuat penilaian tentang tindakan mana yang terbaik, nilai yang telah dibangun secara sosial untuk kita sebelumnya. Hal ini terlihat dalam perilaku mahasiswa Banyumasan dalam menggunakan dialeknya, (2) gagasan untuk memilih berdasarkan nalar psikis dan emosional yang tidak pernah dapat sepenuhnya kita sadari seperti halnya adanya pengaruh faktor eksternal yaitu lingkungan, (3) pilihan bersifat rutinitas atau harian dan tidak terpikirkan secara sadar, (4) dalam memilih, kadang kita tidak memiliki pengetahuan ‘obyektif’ tentang kondisi tindakan kita sendiri karena kita tidak dapat melangkah keluar dari situasi-situasi tersebut, karena dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya. Hal inilah yang akan mengarah kepada identitas dalam dialek banyumasan.
Dalam pilihan dan determinasi terdapat istilah orisinalitas. Menindaklanjuti hal demikian, identitas sebagai sebuah hal yang tidak menentu dan ditentukan, yang tidak berarti bahwa kita tidak orisinal. Identitas adalah suatu proses sosial dan budaya, dimana individualitas tentang diri kita dapat dipahami secara spesifik dimana sumber daya sosial diri
Oleh sebab itu, identitas bukan sesuatu yang tetap dan alamiah, melainkan sebuah proses yang terus menerus berubah dan memiliki titik-titik perbedaan yang semakin berkembang. Contohnya identifikasi dalam kelas, gender, umur, seksualitas, agama, etnisitas, maskulin, dan lain-lain. Identitas inimkemudian menjadi terkotak-kotak dengan beberapa makna identitas tertentu.
Pemaknaan identitas ini dipengaruhi adanya individu dengan sosial budaya yang berbeda dan dibentuk adanya tatanan sosial yang ada di masyarakat. Hal ini menimbulkan identitas yang ditunjuk seseorang selalu berubah menurut bagaimana subyek yang dipresentasikan. Hall berargumen bahwa “identitas dibangun oleh sesuatu yang bersifat kontradiktif dan saling silang atau saling meniadakan satu sama lain” (Chris Barker, 2006 : 183). Maka, elastisitas untuk memberikan makna dalam identitas menunjukan bagaimana kita memikirkan diri kita dan orang lain yang disebabkan oleh pergeseran dan perubahan karakter sang pemberi identitas.
Begitu juga dengan bahasa. Bahasa selain menjadi media kesadaran diri untuk mengatakan sesuatu, tetapi bahasa memiliki konsep konstruksi yang mengarah pada pandangan untuk memperkuat pemahaman diri. Menurut Hall “bahasa membentuk ‘aku’ dan mengarah pada hakikat pemakanaan” (Chris Baker, 2006 : 178). Seperti halnya seseorang yang tidak memiliki ‘aku’, maka ia juga tidak dapat memiliki ‘identitas’. Meski bahasa membangun makna melalui serangkaian perbedaan yang bersifat relasional dan tidak stabil, tetapi juga bersifat mendefinisikan, mengkonstruksikan dan memproduksi obyek pengetahuan seseorang terhadap sesuatu. Sehingga, muncul karakteristik identitas sesuatu tersebut.
Karakteristik identitas tertentu, oleh Kahn dalam Yekti Maunati (2006 : 23-24), menyebutnya dengan identitas budaya yang memiliki arti bahwa dalam identitas budaya merupakan suatu proses seberapa jauh sesuatu dibentuk atau dibangun berkaitan dengan proses-proses tertentu dan pengalaman-pengalaman berbeda-beda yang dengan sengaja dibangun berkaitan dengan kepercayaan relatif seputar konsep budaya. Konsep kebudayaan tersebut merupakan sebuah konstruksi budaya dan tidak terlepas dengan adanya interaksi yang bersifat terus-menerus.
Secara tidak sengaja, identitas yang dibentuk dan dibangun oleh masyarakat merupakan proses sosial (proyek identitas) yang didalamnya terjadinya proses label sosial atau stereotip. Pelabelan atau pemberian suatu benda atau nama kepada seseorang, dapat dijadikan tanda seseorang diterima kedalam kelompok budaya atau agama tertentu, sehingga nama itu tidak hanya memberikan identitas individu, tetapi juga sekaligus memberikan identitas individu kelompok atau agama (Joanna Thornborrow dalam Linda Thomas dan Shan Wareig, 2007 : 230).
Dalam pembentukan identitas sosial yang mengarah kepada pelabelan atau pengkategorian kelompok tertentu adalah berupa representasi. Hal ini dicontohkan oleh Sacks terhadap para remaja yang mengendarai mobil yang dianggapnya karena masih remaja dan seharusnya belum mengendarai mobil. Dari pengkategorian tersebut mengidentifikasikan bahwa seseorang atau kelompok tersebut masuk dalam golongan remaja yang merupakan bagian dari konstruksi orang dewasa yang menyebut mereka masih dalam kategori remaja.
Peristiwa tersebut memposisikan seseorang atau kelompok dalam suatu kategori tertentu dengan pemberian label tertentu, dimana kelompok yang lebih kuat posisinya (mayoritas) akan membuat dan memberikan label kepada kelompok yang lemah (minoritas) untuk penilaian terhadap kelompok yang dilabeli (Linda Thomas dan Shan Wareig, 2007 : 237).
Bahkan dalam penelitian Yekti Maunati dalam identitas masyarakat Dayak, dengan mengambil ringkasan dari tulisan Vickers (1989) yang memberikan gambaran bagaimana penjajah Belanda mendefinisikan citra Bali dari citra sebagai sebuah tempat yang liar tak beradab menjadi citra sebuah pulau surga.

Tidak ada komentar: